Minggu, 01 Maret 2009

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN Oleh : Ika Radiastuti*

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN

Oleh :

Ika Radiastuti*

Barangkali kita pernah menjumpai adanya kasus petani yang membongkar sawahnya dari semula yang ditanami padi diganti dengan tanaman jeruk; atau mendengar berita petani yang membongkar tanaman cengkehnya karena dianggap terlalu lama menghasilkan keuntungan, atau menjumpai petani yang meninggalkan pekerjaan utama bertani kemudian pergi ke kota besar untuk mengadu nasib agar memperoleh pendapatan yang lebih besar; dan masih banyak kasus yang lain. Apa yang mereka lakukan pada dasarnya adalah bagaimana mereka dapat memaksimalkan pendapatan ( yaitu untuk kebutuhan keluarganya agar hidup yang lebih baik ) berdasarkan keadaan penguasaan sumberdaya yang terbatas. Manakala sumberdaya yang terbatas itu sudah digunakanseoptimal mungkin, namun pendapatan yang ia peroleh masih juga belum mencukupi, maka iapun berusaha menoleh pada kesempatan ekonomi yang lain dan diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya. Petani atau golongan masyarakat pedesaan seperti ini dapat dikategorikan pada kelompok masyarakat yang selalu memaksimalkan keuntungan pada setiap usaha yang dilakukan. Mereka selalu mengandalkan asas profit maximization yang biasanya dicirikan oleh :

a. Cepatnya mengadopsi-inovasi hal-hal baru dan karenanya mereka sering disebut adopters yang cepat (early adopters); dan karenanya mareka adalah golongan petani maju yang relative baik tingkat sosial ekonominya.

b. Derajat kosmopolitasnya tinggi, taitu mobilitas yang cepat pergi kesana kemari untuk memperoleh informasi;

c. Berani menanggung resiko dalam melakukan usahanya;

d. Mampu dan mau mencoba hal-hal atau teknologi yang baru, karena sumberdaya yang dipakai untuk melaksanakan hal tersebut dimiliki; dan karenanya disamping mereka digolongkan sebagai petani maju juga umumnya petani komersial (Soekartawi, 1988).

Di sisi lain ada pula golongan masyarakat atau petani yang lamban dalam melaksanakan kemajuan-kemajuan; enggan mencoba teknologi baru dan sulit untuk “diajak maju”.

Mereka ini mempunyai sifat yang agak berkebalikan dengan ciri-ciri petani yang disebutkan diatas dan golongan petani ini dikenal dengan istilah petani subsisten yang dicirikan oleh kemauan mereka untuk tujuan memaksimumkan kepuasan (utility maximization) daripada memaksimumkan keuntungan. Mengajak petani subsisten untuk maju memang memerlukan waktu, karena sifatnya yang lamban terhadap adosi inovasi teknologi baru, masyarakatnya agak tertutup; mobilisasi untuk mencari informasi adalah lemah dan karenanya sulit bagi mereka untuk mensukseskan pembangunan secara cepat.

Karena kemajuan ilmu dan teknologi serta kemajuan pembangunan yang sudah menyentuh sampai pelosok pedesaan, maka ciri-ciri petani subsisten ini telah berubah walaupun sebagian belum dapat dikatakan sebagai petani komersial. Sehingga yang banyak dijumpai di pedesaan adalah golongan petani yang semi-komersial atau semi-subsisten. Karena itu ciri yang dimiliki oleh petani semi-komersial atau petani semi-subsisten ini adalah gabungan dari kedua ciri yang dimiliki. Mengetahui cirri yang dimiliki oleh petani atau golongan masyarakat ini dianggap penting karena cirri tersebut erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan.

Dari pengamatan para ahli proses pengambilan keputusan (decision making behaviour) yang dilakukan oleh petani dan golongan masyarakat terhadap teknologi baru dapat beraneka ragam tergantung dari situasi dan kondisi setempat; namun paling tidak ada enam kategori, yaitu :

a. Berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi (Schultz, 1964; Lypton, 1968);

b. Berkaitan dengan factor risiko dan ketidakpastian (Roumasset,1976; Dillon dan Scandizzo, 1978);

c. Berkaitan dengan keterbatasan penguasaan sumberdaya (Sen, 1966);

d. Berkaitan dengan potensi desa atau kelompok masyarakat desa (Clawson dan Hoy, 1979; Soekartawi dkk. 1979);

e. Berkaitan dengan model pengembangan petani kecil (Benito, 1976, Soekartawi dkk. (1986); dan

f. Berkaitan dengan aspek ekonomi yang lain (Lindner dan Pardey, 1979; Fisher dan Lindner, 1979).

AGRIBISNIS DALAM PERTANIAN DI INDONESIA

Mengetahui ciri-ciri petani tersebut adalah penting kalau dikaitkan dengan pengembangan agribisnis yang kini sedang digalakkan. Sebab agaknya sulit untuk mengajak petani komersial untuk mengusahakan tanaman komersial untuk mengusahakan tanaman pertanian yang mempunyai elastisitas permintaan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena cakupan agribisnis adalah luas dan kompleks, yaitu meliputi kaitan dari mulai proses produksi, pengolahan sampai pada pemasaran hasil pertanian termasuk di dalamnya kegiatan lain yang menunjang kegiatan proses produksi pertanian. Dengan demikian, kalau saja pada akhir PELITA V ini diharapkan adanya suatu kondisi perekonomian atau industri yang kuat didukung olehsektor pertanian yang tangguh, maka peranan agribisnis memegang peranan penting di dalamnya (Soekartawi, 1990).

Pengembangan agribisnis Indonesia atau IBT mempunyai posisi yang strategis antara lain karena pertimbangan sebagai berikut;

a. Letak goegrafis Indonesia atau IBT yang dekat dengan pasar dunia (world market) yang kini bergerak ke Asia-Pasifik;

b. Kondisi invertasi untuk tujuan ekspor, baik di bidang pertanian maupun non-migas lainnya, cukup mendukung (sebagai akibat kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi);

c. Masih banyaknya sumber alam khususnya untuk kegiatan di sector pertanian di IBT yang belum dimanfaatkan seoptimal mungkin;

d. Semakin baiknya nilai tambah dan kualitas produk pertanian yang mampu menerobos pasar dunia; dan

e. Masih besarnya (sekitar 54%) tenaga kerja bekerja sector pertanian. Kini pada tahun 2002, angka ini diperkirakan tinggal 49%.

Oleh karena itulah nilai ekspor nonmigas mampu mengganti dan lebih tinggi dari nilai ekspor migas sejak tahun 1987/88. Kalau pada tahun 1986/87, posisi nilai ekspor nonmigas sebesar 47% dan migas sebesar 53% dan nilai ekspor senilai hamper US $ 14 milyar, maka pada tahun 1987/88, dominasi migas digantikan oleh nonmigas, yaitu nilai ekspor nonmigas sebesar 51,4% dan migas 48,6% (Gaol, 1989). Sayangnya pada saat ekspor nonmigas mampu menggeser migas, maka pertumbuhan pertumbuhan ekspor barang pertanian pada saat itu menurun sebesar 0,06% yang disebabkan karena menurunnya harga di pasaran dunia dan masih tingginya biaya produksi di dalam negeri (high cost economy). Hal ini disebabkan karena pola dan hubungan seluruh mata rantai agribisnis di dalam negeri pada umumnya belum optimal, karena beberapa faktor antara lain :

a. Pola produksi pertanian sebagian besar tidak mengelompok dalam satu areal yang kompak sehingga asas efisiensi berdasarkan skala usaha tertentu belum atau sulit mencapai tingkat yang efisien;

b. Sarana dan prasarana ekonomi di daerah tertentu misalnya di luar Jawa-Bali khususnya di daerah sentra produksi belum memadai;

c. Pola agroindustri yang cenderung terpusat di daerah perkotaan dan bukan di daerah pedesaan atau daerah sentra produksi;

d. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan juga karena kondisi transportasi khususnya diluar Jawa-Bali yang belum memadai, sehingga biaya transportasi menjadi relative mahal; dan

e. Sistem kelembagaan di pedesaan, baik kelembagaan keuangan, pasar atau informasi pasar yang belum memadai.

Dalam pada itu Perhepi (1980) dalam dengar pendapat dengan komisi IV DPR-RI tanggal 28 Juni 1989, memberikan berbagai alternatif kebijaksanaan yang dapat ditempuh yaitu antara lain:

a. Meningkatkkan ketrampilan dan kemampuan petani untuk berusahatani secara efisien;

b. Menyebarluaskan informasi pasar dan peluang pasar;

c. Menetapkan standarisasi untuk produksi pertanian secarategas dan dimengerti oleh semua pihak;

d. Mengembangkan kelembagaan berdasarkan keinginan petani, dan bukan berdasarkan keinginan yang dirasakan oleh birokrasi; dan

e. Konsolidasi kelembagaan pemasaran dan pengembangan market intelligent.

Dalam masa sekarang ini dimana kondisi globalisasi ekonomi dunia yang relatif sulit diprediksi, maka kondisi ini akan mendorong tiap negara harus mampu mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki untuk dimanfaatkan agar mempunyai daya saing komparatif (comparative advantage) yang tinggi untuk mampu bersaing di pasaran internasional. Untuk sektor pertanian, barangkali sudah waktunya untuk dipikirkan beberapa aspek yaitu: Pertama, apakah tidak sebaiknya kalau sumberdaya alam yang kita miliki, dimanfaatkan seoptimal mungkin tanpa harus mengorbankan aspek kelestariannya. Kenyataan di lapangan sering kita lihat hal yang sebaliknya. Misalnya hadirnya tambak intensif di pantai utara Jawa Timur, menyebabkan rusaknya hutan bakau. Padahal hutan bakau ini diperlukan bukan saja untuk menahan hempasan air laut tetapi juga penyedia plankton (makanan ikan atau udang) yang justru diperlukan oleh nelayan kecil dan petambak tradisional (Soekartawi, 1989). Peraturan yang mengatur kelestarian penggunaan sumber alam tentu sudah ada, tetapi seringpula dilupakan. Oleh karena itu barangkali ada empat hal yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dalam aspek kelestarian sumberdaya alam ini; khususnya dari aspek agro-ekosistemnya, yaitu :

a. Meningkatkan produktifitas pertanian (productivity) dengan rekayasa teknis atau sosial ekonomi;

b. Meningkatkan kestabilan produktivitas (stability) dalam artian produktivitas tetap dipertahankan dan memperkecil perbedaan angka produktivitas tersebut pada kondisi lahan yang relatif sama;

c. Mempertahankan aspek kesinambungan (sustainability) dari pengusahaan pertanian yang disebabkan oleh faktor lain seperti erosi, hama penyakit, iklim. Permodalan, dan lain-lain;

d. Mempertahankan dan meningkatkan pemerataan (equitability) dalam artian bagaimana hasil yang diperoleh dari suatu sistem usaha pertanian (agro-sistem) yang diterapkan di daerah lain tanpa harus mengorbankan lingkungan (Soekartawi, 1988).

Aspek kedua adalah aspek teknonologi (tecnological endowment). Produksi pertanian tidak dapat meningkat bila pelaksanaannya tidak menguasai teknologi. Seperti yang pernah disarankan oleh Mosher (1966) bahwa penguasaan teknologi pertanian yang selalu berubah ini merupakan syarat mutlak dalam keberhasilan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, proses adopsi inovasi teknologi baru sangat penting karenanya, maka peranan penyuluh pertanian menjadi amat strategis.

Aspek yang ketiga adalah kelembagaan (institutional endowment). Di dalam pengembangan konsep agribisnis, sebaiknya produsen atau juga petani mampu untuk mengusahakan sendiri produksi pertaniannya, mengolah hasilnya dan sekaligus memasarkannya pada kondisi harga yang menguntungkan. Namun dalam praktek seringkali produsen atau petani dihadapkan pada keterbatasan yang dimiliki dan karenanya diperlukan kerjasama dengan pihak lain. Misalnya, berproduksi dengan pinjaman kredit Bank; memasarkan hasil pertanian bekerjasama dengan KUD dan sebagainya. Agar konsep agribisnis dapat menguntungkan kedua belah pihak, maka baik petani maupun KUD atau petani dengan Bank adalah mitra kerja yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan saling membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian, bila karena sesuatu hal salah satu pihak dirugikan, maka lambat atau cepat akan merugikan pula keberhasilan agribisnis ini. Aspek kelembagaan ini, baik kelembagaan formal maupun nonformal, justru merupakan aspek menonjol yang sering menghambat jalannya pembangunan pertanian di negara-negara yang sedang berkembang seperti dilaporkan oleh Hayani dkk.(1982).

Aspek keempat adalah aspek yang berkaitan dengan kebudayaan (cultural endowment). Aspek ini sering dilupakan oleh banyak orang dan karenanya banyak analist yang mengasumsikan masalah culture dianggap konstan. Padahal justru aspek ini berkembang secara dinamis. Faktor resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty); tidak bersedianya petani mengadopsi teknologi baru, tidak maunya petani mengikuti program-program pembangunan pertanian dan sebagainya adalah salah satu contoh pentingnya memperhatikan aspek budaya ini. Ini artinya bahwa keberhasilan pembangunan pertanian itu satu-satunya sangat tergantung dari aspek manusia dan budayanya seperti pada konsep esensi dari putting the people first seperti dikemukakan oleh Cernia dari World Bank (dalam Soekartawi, 1988).

Kalau pada tahun 1966 Mosher menawarkan lima faktor utama yang harus dipenuhi dalam mensukseskan pembangunan pertanian di pedesaan, yaitu :

a. Adanya pasar atau pemasaran hasil pertanian;

b. Adanya teknologi yang selalu berubah;

c. Adanya sarana produksi secara lokal;

d. Adanya insentif bagi petani; dan

e. Adanya transportasi yang memadai.

Ada pula faktor-faktor pelancar dalam pembangunan pertanian menurut A.T. Mosher ialah :

1. Pendidikan pembangunan;

2. Kredit produksi;

3. Kegiatan gotong royong (group action) oleh para petani;

4. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian;dan

5. Perencanaan nasional pembangunan pertanian.

Dengan memperhatikan aspek productivity, stability, sustainability dan equality (produktivitas, stabilitas, berkelanjutan dan dapat disebarluaskan) dan empat aspek lainnya, yaitu pemanfaatan sumberdaya yang efisien, teknologi yang senantiasa berubag, institusi dan budaya yang mendukung program pembangunan pertanian maka keberhasilan pembangunan pertanian pertanian yang berkelanjutan akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dillon, J.L (1977), The Analysis Response In Crop and Livestock Production, Oxford, Pergamon Press,

2. Lypton, M. (1968), The Theory of Optimizing Peasant, Journal of Developing Studies, Vol.4 hlm. 345-354

3. Mosher, A.T (1966), Getting Agriculture Moving, F.A Praeger Inc, New York

4. Perhepi, (1989), Bahan Rapat Dengar Pendapat Perhepi dengan komisi IV DPR-RI tanggal 28 Juni 1989 (mimeograph)

5. Schultz, T.W (1964), Transforming Traditional Agriculture, New Haven, Yale University

6. Sen, A.K, (1966), Peasants and Dualism with or withot Labour, Journal at Political Economics, hlm 425-456

7. Soekartawi, dkk, (1979), Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian, Jkt, UI Press.

* Staf Pengajar Unibo, S1 Universitas Brawijaya Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya