Minggu, 01 Maret 2009

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK TERKENAL DI INDONESIA Oleh.H.M. Saifur Rachman, S.H.

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

MEREK TERKENAL DI INDONESIA

Oleh.H.M. Saifur Rachman, S.H.[1]

A. PENDAHULUAN

Merek merupakan hal yang penting dalam dunia industri dan perdagangan. Penggunaan merek dagang dalam pengertian seperti kita kenal dewasa ini mulai berkembang tidak lama setelah dimulainya revolusi industri pada pertengahan abad XVIII, yang digunakan untuk memberi tanda produk yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal-usul barang (indication of origin).

Perkembangan sistem perdagangan modern menuntut untuk penyesuaian dalam perlindungan hukum terhadap merek atas produk yang diperdagangkan. Melihat kenyataan tersebut, maka berbicara mengenai merek harus dimulai dengan menganalisis rasionalisasi ekonomi dan justifikasi hukum. Dengan kata lain, mengkaji filosofisnya tentang merek perlu dikedepankan daripada hanya terbatas dari sisi administratifnya, seperti pendaftaran merek, pembatalan merek dan sebagainya. Sungguhpun berbagai peraturan merek telah diterbitkan, pelanggaran merek masih sangat banyak. Kasus peniruan, pembajakan ataupun pendomplengan reputasi (passing of), dan hak milik intelelektual lainnya.

Dalam perkembanganya, fungsi merek mengarah sebagai sarana promosi (means of trade promotion) bagi produsen atau para pengusaha yang memperdagangkan barang dan jasa. Di luar negeri merek seringkali digunakan untuk mempertahankan goodwill di mata konsumen, dan merek itu merupakan simbol yang dapat digunakan pihak pedagang untuk memperluas pasarannya diluar negeri, serta mempertahankan pasaran tersebut.

Di Indonesia fungsi merek dipergunakan sebagai sarana untuk merangsang pertumbuhan industri, perdagangan yang sehat dan menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini diakui oleh CAFI (Commercial Advisory Foundation in Indonesia), bahwa mengenai paten dan trademark di Indonesia memiliki peranan yang penting di dalam ekonomi Indonesia, terutama berkenaan dengan berkembangnya usaha-usaha industri dalam rangka penanaman modal.[2]

Tindak Pidana merek dikategorikan sebagai delik aduan, pertimbangan untuk pembenaran sebagai delik aduan dikaitkan dengan kemampuan sumber daya manusia, baik polisi maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan keterbatasan sarana penegakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Bila sebagai delik biasa maka beban aparat penegak hukum menjadi sangat berat, karena secara teoritis aparat penegak hukum harus pro-aktif tanpa tergantung ada atau tidaknya pengaduan. Selain itu berkaitan dengan HAKI merupakan hak perdata sehingga negara tidak berhak mencampurinya, kecuali pihak yang dirugikan melaporkannya.[3]

Delik aduan ada 2 (dua) macam, yaitu absolut dan relatif. Dalam hal ini penentuan delik aduan bukan sepenuhnya berkaitan dengan pemikiran sebagai upaya/pencegahan (preventie). Formulasi tindak pidana merek ini penting karena di satu sisi merupakan dasar penanganan aplikasi dalam sistem peradilan pidana agar lebih efektif dan efisien sebagai wujud penegakan hukum pidana untuk mendukung proses ekonomi bisnis, khususnya norma dan nilai di bidang HAKI, sedangkan masyarakat ternyata lebih memilih penyelesaian sengketa melalui jalur hukum pidana.[4] Pada pembahasan dalam tulisan ini difokuskan terhadap merek terkenal sebagai korban. Hal ini dimungkinkan karena merek terkenal mempunyai komoditas yang lebih layak jual.

B. DELIK ADUAN

Pelanggaran di bidang merek dijadikan perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana dalam rangka kebijakan kriminal, yaitu sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.[5] Fungsi hukum pidana sebagai pengendali sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan berupa pelanggaran di bidang merek. Artinya norma-norma yang ada dibidang HaKI khususnya merek ditegakkan dengan hukum pidana. Fungsi hukum disini untuk mengontrol perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi agar tidak merugikan pihak lainnya. Hukum di bidang merek untuk menjamin pelaku usaha mengamankan kegiatan dan tujuan ekonominya.

Perbedaan yang perlu diketahui dan dicermati terlebih dahulu adalah antara laporan dan pengaduan. Pasal 1 angka 24 KUHAP menyatakan bahwa :

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan Pasal 1 angka 25 KUHAP menyatakan bahwa :

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Uraian dalam pasal 1 angka 24 dan 25 KUHAP itu memperjelas bahwa laporan itu hanya sebatas pemberitahuan seorang dalam mempertahankan hak dan kewajibannya yang telah atau sedang adanya dugaan akan terjadi peristiwa pidana, sedangkan pengaduan merupakan pemberitahuan yang diikuti permintaan dari seseorang untuk menindak seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan dan jelas-jelas telah merugikannya.

Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, mengkategorikan tindak pidana merek sebagai delik aduan, dengan pertimbangan terbatasnya kemampuan sumber daya manusia, baik polisi, PPNS serta keterbatasan sarana penegakan hukum HaKI. Dalam Undang-Undang merek terdahulu, pelanggaran ini dikategorikan sebagai delik biasa. Sebenarnya hal ini dirasakan memberatkan aparat penegak hukum, karena secara teoritis harus pro-aktif melakukan melakukan penindakan terhadap setiap pelanggaran.

Merek merupakan suatu identitas bagi sebuah produk yang dihasilkan oleh produsen yang merupakan bagian aset dari perusahaan. Bisa dikatakan identitas ini mempunyai pengertian pada kualitas produksi suatu barang, artinya barang tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Hal inilah yang memerlukan perlindungan hukum. Apabila terjadi pembajakan merek tetapi kualitas barang berlainan akan mengganggu stabilitas dan jaminan konsumen terhadap barang tersebut.

Merek juga merupakan garansi atas jaminan kepemilikan pribadi atas sebuah produk dagang, yang apabila produk dagang tersebut mempunyai kesamaan dengan produk dagang milik orang lain, maka negara dalam hal ini Kantor Merek sebagai wakilnya berkewajiban untuk menolak merek yang dimintaka pendaftarannya tersebut.

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, yang dimaksud dengan Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memilki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Mengenai Untuk apa merek itu, hal ini harus dilihat dari tujuan diciptakannya merek. Merek diciptakan untuk membedakan antara satu produk dengan produk yang lainnya terutama yang jenisnya sama.[6]

Adapun kegunaan merek adalah dalam hubungannya dengan ruang lingkupnya. Dengan kata lain, sejauh mana merek itu digunakan atau seberapa luasnya dunia merek itu. Dunia merek dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 dibatasi hanya dapat digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa. Jadi peranan merek hanya ada pada dunia perdagangan saja.

Sedangkan penentuan suatu merek sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh pihak asing saja tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha nasional yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya. Ukuran terkenal tidaknya suatu merek, selain mendasarkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris, juga di dasarkan pada Undang-Undang merek yang berlaku atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut. [7]

Untuk suatu merek, rasanya akan sulit menentukan termasuk tingkatan manakah suatu merek tertentu dikelompokkan sebagai merek terkenal. Hal ini akan sangat bergantung pada produk yang dihasilkan dan digunakan pada umumnya oleh konsumen, atau produk dengan merek tertentu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Itu sebabnya pendekatan yang yang dilakukan untuk menentukan suatu merek terkenal didasarkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris dan penjelasan pasal 4 Undang-Undang Merek.

Kriteria suatu merek itu terkenal dalam penjelasan pasal 4 Undang-Undang No 15 tahun 2001 Tentang Merek, hanya didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat mengenai merek atau nama tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan Undang-Undang merek tersebut, atau dalam prakteknya, untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering diikuti dengan adanya promosi yang cukup sering dan digunakan secara efektif. Bahkan kadang-kadang di ikuti dengan persyaratan bahwa merek itu telah didaftar di berbagai negara, misalnya minimal 3 negara.

Cara lain juga biasa dilakukan adalah didasarkan pada kepentingan subjektif suatu negara dengan mengirimkan data merek yang dimiliki oleh badan hukum yang terdapat dalam negara tersebut kepada kantor merek Indonesia. Kemudian oleh kantor merek, informasi tentang merek-merek itu di catat dalam “Daftar Umum Merek Terkenal” tanpa melalui pengecekan atau pemeriksaan yang teliti, walaupun mungkin merek itu sama sekali tidak dikenal atau digunakan di Indonesia oleh perusahaan tersebut.

Oleh karena itu alasan pemilik merek terkenal harus membuat pengaduan jika mereknya dipalsukan adalah :

1. Karena pemilik merek merasa bahwa merek merupakan sebagai sarana promosi (means trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan.

2. Karena pemilik merek merasa bahwa merek adalah simbol yang dapat digunakan oleh pihak pedagang untuk memperluas pasaran tersebut terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat.

Pemalsuan merek di Indonesia banyak ragamnya, misalnya mempunyai puluhan merek yang terdaftar atas namanya dalam Daftar Umum Merek pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, akan tetapi mereka tidak memproduksi barang dengan merek tersebut, tetapi hanya mendaftarkan merek tersebut.

Salah satu perkara yang menjadi Landmark Decisions bagi yurisprudensi Indonesia adalah adalah kasus merek Gucci dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 3485 K/Pdt/1992 antara Guccio Gucci melawan AT. Soetedjo Hadinyoto. Pada saat itu menurut Undang-Undang Merek No 21 tahun 1961, siapa yang mendaftarkan pertama kali suatu merek, dialah pemilik merek tersebut. Hanya saja pada kasus tersebut proses pendaftaran merek, oleh pihak Direktorat merek tidak terlebih dahulu meneliti apakah pendaftar merek itu merupakan pemilik sah atas merek bersangkutan.

Sistem pendaftaran semacam ini dikenal sebagai sistem yang pasif, dimana siapa saja dapat melakukan pendaftaran merek, tetapi tidak secara otomatis menciptakan sesuatu hak atas merek tersebut. Fungsi pendaftaran merek adalah untuk memudahkan pembuktian tentang siapa yang merupakan pemakai pertama dari suatu merek. Sebagai pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, ternyata belum terjamin kelangsungan hak-hak seseorang atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran itu dapat saja menunjukkan bahwa ialah yang terbukti terlebih dahulu menggunakan merek itu. Sistem pendaftaran semacam ini dikenal dengan sistem pasif-deklaratif-negatif.

Pendaftaran merek merupakan suatu cara pengamanan oleh pemilik merek yang sesungguhnya, sekaligus perlindungan yang diberikan oleh negara. Di dalamya memuat substansi yang essensial berkenaan dengan proses pendaftaran itu, yaitu adanya tenggang waktu antara pelaksanaan pengajuan, penerimaan dan pengumuman. Ketiga tahap itu dapat mempengaruhi sikap pihak ketiga atas terdaftarnya suatu merek, sehingga terbuka kemungkinan untuk diadakannya pembatalan pendaftaran suatu merek. Sejauh mana perlindungan hukum atas merek dapat tercermin dari cara bagaimana pendaftaran merek itu membawa implikasi terhadap pengakuan dan pembatalannya.

Wujud perlindungan lainnya dari negara terhadap pendaftaran adalah merek hanya dapat didaftarkan atas dasar permintaan yang diajukan pemilik merek yang beritikad baik. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Merek pasal 4 bahwa :

merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik’.

Di pasaran sering di temui barang yang meniru dan menyerupai merek terkenal yang dapat menimbulkan kekeliruan bagi masyarakat tentang kebenaran barang yang di belinya tersebut. Akibat dari tindakan ini menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek sesungguhnya, maupun bagi konsumen karena telah tertipu atas kualitas barang yang telah dibelinya tersebut.

Dalam konstruksi hukum, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (on rechmatige daad), yang oleh yurisprudensi di Indonesia diartikan secara luas, yaitu setiap perbuatan yang dipandang sebagai tidak patut, tidak wajar, atau tidak putus dalam pergaulan masyarakat. Sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dapat dituntut tanggung jawab yang di realisasikan berupa penggantian kerugian di hadapan pengadilan dan perintah untuk menghentikan pemakaian merek yang dipandang melanggar hukum.

Secara yuridis, kriteria merek terkenal diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu :

(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan jasa sejenis

C. AnalisIS Ekonomi Atas HaKI

Sebagai Akibat dari perkembangan ekonomi dan meningkatnya tingkat kesejahteraan, maka pola konsumsi masyarakat di Indonesia pun mengalami perubahan. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.

Dalam mengkonsumsi barang, masyarakat yang telah maju dengan berbagai fasilitas tersebut, lebih mengutamakan produk dengan merek – merek asing demi untuk meningkatkan prestise di lingkungan sekitarnya. Melihat kenyataan seperti ini, dimana adanya kecenderungan lebih memilih barang dengan merek-merek luar negeri di banding barang dengan merek lokal, maka seperti di temui dalam banyak yurisprudensi, pengusaha Indonesia banyak yang kemudian melakukan pemalsuan merek-merek terkenal demi untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Mereka membuat produk sendiri lalu memberi merek luar negeri yang sudah terkenal. Perkembangan peniruan dan pembajakan merek-merek asing di Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi yang menganut sistem ekonomi terbuka. Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan bila terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini merek memegang peranan yang sangat penting dan memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai.

Menganalisa hukum dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan (approaches). Dalam buku yang dikarang oleh Llyod dan Freeman yang berjudul “Lloyd’s Introduction to Jurisprudence” dipaparkan 8 (delapan) pendekatan yang dikenal dalam ilmu hukum; mulai dari pendekatan hukum alam (natural law) sampai dengan pendekatan marxiz (Marxist Theories Of Law And State). Dari delapan pendekatan yang disebutkan, salah satunya adalah pendekatan trend modern ilmu hukum yang didasarkan pada kajian analisa dan normatif (modern trend in analytical and normative jurisprudence) yang salah satunya adalah mengkaji hukum atas dasar analisa ekonomi (Economic Analysis Of Law).[8]

Analisa Ekonomi atas Hukum menurut Posner adalah penggunaan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi sebagai pendekatan untuk mengkaji masalah hukum, selanjutnya dikatakan bahwa “..economic is powerful tool for analyzing a vast range of legal question”. Menurut Polinsky, pendekatan analisa ekonomi terhadap hukum dilakukan oleh ahli hukum dilakukan dengan maksud “ … in order to focus on how to think like an economic about legal rules.”[9]

Pendekatan analisis ekonomi atas hukum merupakan pendekatan yang relatif baru dikenal. Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan kurang lebih 40 tahun yang lalu oleh ahli hukum dari Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1968 Richard Posner menerbitkan sebuah buku yang menguraikan pendekatan analisa ekonomi atas hukum secara sistematis.

Analisis ekonomi atas hukum adalah suatu bahasan interdisipliner yang membawa secara bersama-sama dua bidang studi dan mengantarkan pada pengertian yang lebih mengenai dua bidang yaitu hukum dan ekonomi. Menurut pendekatan ini, hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang penting. Untuk mengetahui pengaruh hukum terhadap tujuan-tujuan tersebut, maka pembuat undang-undang harus mempunyai metode untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh hukum terhadap nilai-nilai sosial. Ekonom memperkirakan pengaruh dari suatu kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu relevan dengan pembuatan kebijakan, karena lebih baik memperoleh suatu kebijakan dengan biaya rendah daripada biaya tinggi.

D. Kebijakan Hukum Pidana tentang Merek

Sebagaimana yang kita ketahui, pada akhir tahun 2000 yang lalu yaitu pada tanggal 20 Desember 2000 reformasi hukum bidang Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”) telah dimulai diundangkannya 3 (tiga) undang-undang baru di bidang HKI, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Selanjutnya pada tahun 2001 Pemerintah juga telah mengundangkan 2 (dua) undang-undang yaitu UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang merupakan revisi terhadap undang-undang sebelumnya. Selain itu pada tanggal 11 Juli 2002, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU tentang Hak Cipta untuk disahkan sebagai undang-undang

Adapun merek sebagai bagian dari HaKI sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang HaKI yaitu Octrooiwet (Undang-Undang Paten) Stb. No. 33 yis S 11-33, S 22-54, Auterswet (Undang-Undang Hak Pengarang) Stb. 1912 No. 600 serta Reglement Industriele Eigendom (Reglemen Milik Perindustrian) yang dimuat dalam S. 1912 No. 545 jo. S. 1913 No. 214, yang mulai berlaku sejak tahun 1913. Peraturan-peraturan tersebur berlaku di Indonesia berdasarkan prinsip konkordansi.

Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 yaitu UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan, yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 Nopember 1961. Pada tahun 1992 terjadi pembaharuan hukum merek di Indonesia, untuk mengantisipasi arus globalisasi, dengan lahirnya undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mencabut dan menggantikan UU Merek No. 21 Tahun 1961. Pada tahun 1997 terjadi penyempurnaan terhadap UU Merek No. 19 Tahun 1992 yaitu dengan UU No. 14 Tahun 1997 yang disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 7 Mei 1997. Penyempurnaan ini dilakukan terutama untuk menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing World Trade Organization) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994. Perubahan terakhir mengenai undang-undang merek terjadi pada tahun 2001 yaitu dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 2001.

Dalam kebijakan hukum pidana tentang merek, diberlakukan prinsip-prinsip hukum good faith, reciprocity dan right priority berarti pihak Indonesia secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Uni Paris Convention, London Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional maupun yang berskala internasional harus secara tepat menerapkan patokan – patokan dari prinsip-prinsip hukum tersebut.

Hal ini terbukti dari putusan Mahkamah Agung RI No. 3485K/Pdt/1992 dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik , tidak terikat tenggang waktu. Pertimbangan hukum ini selanjutnya ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dala rangka melengkapi pelaksanaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun pada pada keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum.

Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milki badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai penetapan prinsip dari pasal 4 ayat 1 Konvensi Uni Paris mengenai Principle Right of Priority (hak prioritas).

Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan, untuk itu apabila orang asing mengajukan permintaan pendaftaran merek di Indonesia, untuk memperoleh “filling data” pemilik merek yang sama dengan cara memberikan perlindungan kepadanya berupa hak prioritas untuk didaftarkan. Tujuan utama pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran, yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari pembajakan atau pemboncengan.

Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama kepada orang asing.

E. Penutup

Tindak Pidana merek dikategorikan sebagai delik aduan, pertimbangan untuk pembenaran sebagai delik aduan dikaitkan dengan kemampuan sumber daya manusia, baik polisi maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan keterbatasan sarana penegakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Bila sebagai delik biasa maka beban aparat penegak hukum menjadi sangat berat, karena secara teoritis aparat penegak hukum harus pro-aktif tanpa tergantung ada atau tidaknya pengaduan. Selain itu berkaitan dengan HAKI merupakan hak perdata sehingga negara tidak berhak mencampurinya, kecuali pihak yang dirugikan melaporkannya.

Undang-Undang merek telah di berlakukan di Indonesia sejak awal abad kedua puluh ketika Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan Reglement Industrieele Eigendom pada tahun 1912, yang memberikan perlindungan kepada hak milik industrial, tidak hanya terhadap merek tetapi juga terhadap paten dan desain. Sistem hukum yang dianut saat itu adalah first to use principle (sistem pemakai pertama) dan sistem itu masih tetap dilaksanakan di Indonesia hingga memasuki masa kemerdekaan.

Pada tahun 1961 Undang-Undang Belanda tersebut diganti dengan UU No. 21 tahun 1961. Pada masa ini sistem pemakai pertama tetap dianut. Baru pada tahun 1992 saat Undang-Undang merek baru yaitu UU No. 19 Tahun 1992 di berlakukan, maka sistem hukum di bidang merek juga berubah. Sistem pemakai pertama tidak lagi berlaku, dan digantikan dengan sistem pendaftar pertama. Berturut-turut Undang-Undang ini di ganti dengan UU No. 14 tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 15 tahun 2001.

Indonesia meratifikasi beberapa konvensi internasional, diantaranya adalah Konvensi Paris melalui Kepres No. 15 tahun 1997 dan Trademark Law Treaty melalui Kepres No. 17 Tahun 1997. Ratifikasi tersebut menerima seluruh pasal-pasal dalam konvensi itu. Dengan demikian diharapkan perlindungan terhadap merek terkenal akan semakin baik.

Perlindungan hukum atas hak merek yang dimiliki oleh seseorang perlu diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat, karena dampak dari yang ditimbulkan dari pembajakan dapat merugikan berbagai pihak. Bagi pemegang merek yang sesungguhnya jelas dapat mengurangi pemasukan atau bilamana barang yang diproduksi pembajak tidak memadai kualitasnya, sehingga tidak diterima konsumen di pasaran maka nama baik merek itu akan tercemar. Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan atas kualitas barang yang di belinya.

Penyediaan perangkat hukum dibidang merek yang didukung oleh sumber daya manusia yang handal adalah suatu keniscayaan yang harus selalu di miliki oleh pemerintah. Perlindungan hukum terhadap merek, juga merupakan jaminan kepastian hukum di bidang ekonomi, harus senantiasa mendapat perhatian, demi untuk menjaga hubungan internasional Indonesia, terutama untuk perdagangan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Cooter, Robert dan Thomas Ulen. “Law and Economics” (Massachusets: Addison-Wesley).

Gautama, Sudargo, Pembaruan Hukum Merek Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997)

--------------------, Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions) berikut Komentar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992

Maulana, Insan Budi, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, 1999

Purba, A. Zen Umar, Pokok-Pokok Pembangunan Sistem HAKI Nasional Advanced Seminar : Prospect and Implementation of Indonesian Coorporation Righrs, Patent and Trade Mark Law, 2000

Sudarto, Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986



[1] - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bondowoso (UNIBO)

- Alumnus Magister Hukum UNEJ Jember.

[2] Djumhana, Muhammad, Djubaidillah, R, Hak Milik Intelektual, Sejarah Teori Dan Prakteknya Di Indonesia, Bandung, 1997, hal. 160

[3] Purba, A. Zen Umar, Pokok-Pokok Pembangunan Sistem HAKI Nasional Advanced Seminar : Prospect and Implementation of Indonesian Coorporation Righrs, Patent and Trade Mark Law, 2000, hal. 5

[4] Maulana, Insan Budi, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, 1999, hal. 167

[5] Sudarto, Hukum Pidana, Bandung, 1983, hal. 158

[6] Gautama, Sudargo, Pembaruan Hukum Merek Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997)

[7] --------------------, Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions) berikut Komentar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992).

[8] Cooter, Robert dan Thomas Ulen. “Law and Economics” (Massachusets: Addison-Wesley). Hal. 3-4 dalam Diktat Teori Hukum yang dikumpulkan oleh Hikmahanto Juwana.

[9] Op.cit, hal 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya