Minggu, 01 Maret 2009

Voting Behavior dan Pilkada secara Langsung:

Voting Behavior dan Pilkada secara Langsung:
Upaya Pencarian Landasan Teoritis
Ahmad A. Sofyan, S.IP[1]

A. Pendahuluan
Lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan membuka babak baru dalam sejarah republik tercinta ini. Satu babak yang lebih dikenal sebagai babak reformasi; satu babak yang ditandai dengan perubahan yang terjadi di semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan politik, babak reformasi ditandai dengan perubahan paradigma; dari paradigma yang dilandaskan pada prinsip-prinsip non demokratis ke paradigma yang dilandaskan atas prinsip-prinsip demokratis; dari paradigma yang berpijak atas pemikiran tertutup dan non partisipatoris ke paradigma yang terbuka dan partisipatoris; dari paradigma yang cenderung eksklusif ke paradigma yang relatif inklusif. Dengan kata lain, era reformasi membuka ruang terhadap pembumian nilai-nilai atau prinsip-prinsip demokrasi sekaligus terhadap proses demokratisasi politik.
Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “pembumian” nilai-nilai demokrasi dan proses demokraisasi ditandai dengan diberlakukan asas desentralisasi yang kemudian berimplikasi pada pemberian otonomi daerah yang “seutuhnya” kepada Pemerintah Daerah yang kemudian, sebagai konsekwensinya, masyarakat daerah diberikan ruang berpartisipasi lebih leluasa berupa hak untuk memilih kepala daerah secara langsung (Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat 5; revisi atas Undang-Undang No 22 / 1999 tentang hal yang sama).
B. Pilkada Langsung, Demokrasi dan Demokratisasi
Di republik ini, pemilihan kepala daerah secara langsung yang melibatkan partisipasi (politik) seluruh masyarakat daerah yang bersangkutan adalah fenomena baru sebagai bagian dari “agenda” reformasi dalam bidang politik. Dengan kata lain, pilkada secara langsung merupakan proses demokratisasi politik yang merupakan konsekwensi logis dari proses reformasi politik sebagaimana dituntut gerakan-gerakan pro-demokrasi.
Dalam literatur ilmu politik demokratisasi dibedakan dari demokrasi. Demokrasi adalah sebuah nilai atau prinsip. Terkait dengan perihal nilai atau prinsip, maka demokrasi dipahami sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Identik dengan pengertian ini, George Andrews dan Henrick Chapman, sebagaimana dikutip Maswadi Rauf menyatakan :
…historical process by which state institution and sosial groups and movements interacted to create political sistem based on principle of popular sovereignity.
(demokrasi adalah satu proses sejarah yang dengan proses tersebut institusi (bernama) negara, kelompok dan gerakan sosial berinteraksi untuk menciptakan satu sistem politik yang didasarkan atas kedaulatan rakyat)
Pengertian demokrasi di atas, barangkali, relatif abstrak, Lebih kongkrit dari pengertian di atas, Althur Lewis –sebagaiman dikutip Laporan Tahunan United Nations for Development Program (UNDP) menyatakan bahwa :
The primary meaning of democracy is that all who are affected by a decision should have the right to participate in making that decision, either directly of through representative. ….to exlude the losing groups from participation in decision making clearly violates the primary meaning of democracy..
Makna sejati demokrasi adalah bahwa semua pihak yang menjadi sasaran dasri sebuah keputusan harus diberikan hak untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan tersebut baik secara langsung maupun melalui perwakilan. ..mengeksklusi kelompok-kelompok “pecundang” dari proses pengambilan keputusan jelas-jelas bertentangan dengan makna sejati demokrasi.
Kemudian dalam perkembangannya, demokrasi dibedakan ke dalam minimalist democracy dan maximalist democracy (Uhlin:1995). Terkait dengan dua pengertian demokrasi di atas, ada sejumlah ilmuwan politik lain menyebut yang pertama sebagai procedural democracy dan yang kedua sebagai substancial democracy (Afan Gaffar : 1999). Para pendukung minimalist democracy / demokrasi prosedural membatasi pengertian demokrasi pada hanya kehidupan politik; tidak memasukkan kehidupan sosial atau ekonomi, misalnya, ke dalam konsep demokrasi. Oleh karena itu, suatu sistem politik dikatakan demokratis jika memenuhi setidaknya tiga komponen demokrasi, yaitu: 1) kompetisi yang bebas bagi baik individu atau organisasi untuk duduk di semua jabatan politik, 2) partisipasi politik di dalam memilih pemimpin atau dalam mengambil sebuah keputusan dan 3) adanya kebebasan sipil dan politik bagi setiap warga, seperti kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya (Uhlin 1995).
Sebaliknya para pendukung demokrasi subtansial/ maximalist democracy mengkaitkan demokrasi bukan saja dengan sistem politik, melainkan pula dengan aspek-aspek kehidupan lain, seperti sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pandangan kelompok ini, suatu negara belum bisa dikatakn demokratis jika tidak memberian kesempatan yang sama, misalnya, dalam aspek ekonomi (baca. kesejahteraan ekonomi) dan keadilan sosial meskipun telah mengimplementasikan nilai atau prinsip demokrasi dalam aspek politik.
Sebagai sebuah prinsip atau nilai, demokrasi menunjuk pada dunia idea atau kondisi. Untuk sampai ke kondisi tersebut maka diperlukan proses politik yang dalam literatur ilmu politik dikenal sebagai proses demokratisasi. Demokratisasi adalah sebuh proses menuju demokrasi. Uhlin (Uhlin: 1996) memberikan pengertian demokratisasi sebagai berikut:
Democratisation –process towards democracy- should be difined as the extension of competition, participation and human rights to an increasing number of institutions, issues and people that were not previously governed by these principles, as well as the process whereby civilians take control over military or at least restrict military’s willingness and capacity to intervene in politics.
Demokratisasi –proses menuju demokrasi- harus didefinisikan sebagai perluasan kompetisi, partisipasi dan hak asasi manusia terhadap semakin banyak lembaga, isu dan masyarakat yang sebelunya tidak demikian; juga berarti proses dimana kalangan sipil mampu mengendalikan atau setidaknya membatasi gerak militer untuk melakukan intervensi ke dalam politik praktis
Terkait dengan mekanisme hubungan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah, maka proses demokratisasi dimulai dengan implementasi secara “utuh” asas desentralisasi dalam mekanisme hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang pada gilirannya memberikan hak dan wewenang kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri yang lebih proporsional atau lebih dikenal sebagai otonomi daerah. (UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Satu hak dan wewenang yang kemudian dikembangkan kepada hak dan wewenang untuk menentukan dan memilih kepala daerah sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan (UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah secara langsung, yang berarti memberikan partispasi lebih luas kepada masyarakat untuk turut menentukan pemimpinnya, merupakan bagian dari proses demokratisasi, terutama, di tingkat lokal.
C. Voting Behavior[2]
Secara sederhana voting behavior bisa didefinisikan sebagai keputusan seorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu baik dalam pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pendekatan/ aliran/ school/ mazhab dalam menganalisis voting behavior. Mazhab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan mazhab Michigan yang dikenal dengan pendekatan psikologis (Afan Gaffar:1992)

C.1. Mazhab Columbia[3]
Di Amerika, mazhab atau aliran ini mendapat dukungan dari ilmuwan politik berlatar-belakang Eropa. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya (Afan Gaffar: 1992). Dengan kata lain, latar belakang seseorang atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi bahkan daerah asal menjadi independent variabel terhadap keputusannya untuk memberikan suara pada saat pemilihan.
Dengan demikian, maka seorang individu berasal dari kelas sosial tertentu, misalnya, akan mendukung partai atau kandidat tertentu yang dianggap representasi dari kelas sosialnya.[4] Dalam hal ini, aliran Columbia ini -sampai kadar tertentu- identik dengan ‘politik aliran’ Cliffort Geertz yang mengelompokkan pemilih Indonesia (bc. Jawa) ke dalam kelompok priyayi, abangan dan santri.[5]
Tetapi dalam perkembangannya, karena beberapa kelemahan, terutama kelemahan metodologis, aliran ini semakin ditinggalkan oleh para ilmuwan politik di Amerika Serikat yang kemudian beralih ke pendekatan lain.

C.2. Mazhab Michigan[6]
Dalam menganalisis voting behavior, pendukung mazhab ini menggunakan pendekatan psikologis. Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis (Afan Gaffar; 1992). Terkait dengan pendekatan psikologis ini, faktor-faktor berpengaruh terhadap voting behavior sebagai berikut (Charles Prysby and Carmine Scavo 1993).
1. Kualitas personal sang kandidat.
Di Amerika, di mana konsep ini berkembang, kualitas pribadi seorang kandidat baik moralitas maupun kapabilitas pribadi menjadi bahan pertimbangan sangat penting bagi calon pemilih. Dalam hal ini, bisa diperhatikan betapa tidak sedikit calon Presiden Amerika Serikat gagal karena dianggap tidak bermoral.

2. Performa pemerintah (yang sedang berkuasa)[7]
Hal ini lazim digunakan pemilih tertutama untuk mengevaluasi kandidat (presiden atau kepala daerah) incumbent. Seberapa baik pemerintah di bawah kepemimpinan presiden atau kepala daerah yang sedang mencalonkan kembali sebagai presiden atau kepala daerah di periode berikutnya menjalankan fungsinya menjadi persoalan penting bagi pemilih.
3. Isu-isu yang dikembangkan sang kandidat
Selain track record suatu pemerintahan, isu-isu yang menjadi agenda seorang kandidat menjadi pertimbangan sangat penting bagi pemilih rasional. Seberapa banyak isu-isu yang dikembangkan seorang kandidat berkesesuaian dengan pandangan (dan kepentingan) calon pemilih yang didasarkan, misalnya, atas agama, (termasuk tingkat keberagamaan), ideologi, kepentingan ekonomi pemilih.
4. Loyalitas terhadap partai atau Party Identification (PID).
Selain tiga faktor di atas, pemilih memberikan suara kepada kandidat tertentu karena identitas kepartaian yang melekat kepadanya. Dengan kata lain, seberapa kuat “ikatan batin” pemilih terhadap partai politik tertentu berpengaruh terhadap keputusannya untuk memberikan suara kepada kandidat yang berasal dari partai di mana dia menjadi anggota partai tersebut. Dibandingkan ketiga faktor di atas, faktor Party Identification ini jauh lebih stabil melekat pada diri calon pemilih, mengingat proses identifikasi terjadi dalam proses yang tidak sebentar. Bahkan tidak jarang, proses identifikasi kepartaian lahir bersamaan dengan proses sosialisasi yang diterima dari keluarga di mana di tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Dengan demikian, dalam ilmu politik, faktor ini disebut sebagai long-term variabel sedangkan tiga faktor pertama disebut short term variabel (Michael G. Roskin & Robert Cord, 1988)


D. Menganalisis Voting Behavior dalam Konteks Pilkada
Agaknya, dua pendekatan di atas sama-sama berpeluang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior dalam pemilihan di Indonesia termasuk pemilihan kepala daerah, tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam kehidupan politik negeri ini, dua pendekatan di atas bersifat saling melengkapi bukan saling menafikan. Digunakannya pendekatan psikologis –yang dianggap banyak pengamat politik lebih sophisticated- tidak seharusnya menafikan pendekatan sosiologis, karena kondisi masyarakat pemilih dan sistem politik yang berkembang di negeri ini relatif berbeda dari masyarakat di negeri asal pendekatan ini lahir dan berkembang.
Dalam politik Indonesia, pendekatan sosiologis, sampai derajat tertentu, identik dengan ‘politik aliran’ yang dipelopori oleh Cliffort Geertz yang mengelompokkan pemilih Indonesia ke dalam kelompok priyayi, abangan dan santri yang masing-masing mempunyai afiliasi dan loyalitas terhadap partai tertentu yang merepresentasikan kelompoknya. Menurut Geertz, pemilih dengan latar belakang santri, misalnya, akan memilih partai-partai dengan identitas Islam. Demikian pula pemilih dengan latar belakng priyayi dan abangan akan memilih partai yang merupakan representasi kelompoknya.
Apa yang ditemukan Geertz dikembangkan pula oleh Herbert Feith dan Lance Castle yang dengan tegas mengelompokkan masyarakat ke dalam golongan-golongan nasionalis radikal, sosial demokrat, komunis, islam (modernis dan tradisional) dan jawa tradisional. (Herbert F & Lance C: 1988).
Agaknya, di era reformasi pun, pemikiran Geertz, Herbert Feith dan Lance Castle, masih berlaku, meskipun mulai memudar dan tidak setegas yang terjadi ketika tahun-tahun 1950-1960-an. Bagaimana, misalnya, santri dari kalangan modernis akan berbeda pilihan dengan santri dari kalangan tradisional.[8] Dengan kata lain, di era reformasi pun, pendekatan sosiologis tetap berpeluang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior meskipun tidak secara mutlak dan bukan satu-satunya pendekatan.
Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat, maka pendekatan psikologis semakin mendapat ruang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia. Berbeda dari pendekatan sosiologis yang berasumsi bahwa pemilih dengan latar belakang tertentu akan memilih kandidat tertentu pula yang berlatar belakang sama secara otomatis, pendekatan psikologis mensyarakatkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam hal ini, “persaingan” antara short term variabel (meliputi isu, kualitas kandidat, dan kualitas pemerintah) dengan long term variabel (party identification) dalam mempengaruhi pilihan politik seorang pemilih mendapatkan tempat. Artinya apakah seseorang menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat tertentu karena party identification yang melekat padanya, isu yang dijanjikan, kualitas kandidat dan pemerintahan di mana sang kandidat adalah orang lama yang kembali mencalonkan diri merupakan persoalan tersendiri dalam menentukan variabel paling berpengaruh terhadap voting behavior.[9]
Dengan demikian, adanya persyaratan “kecerdasan” dan rasionalitas dalam pendekatan psikologis menjadikan pendekatan ini mendapat hambatan serius untuk dapat digunakan secara utuh dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia. Hambatan-hambatan tersebut berupa antara lain:
1. Kemampuan pemilih untuk melakukan evaluasi atas isu-isu yang diagendakan sang kandidat, kualitas kandidat dan performance pemerintah jika sang kandidat adalah incumbent merupakan persoalan tersendiri yang tidak dipunyai oleh kebanyakan pemilih Indonesia, termasuk untuk memilih Pilkada. Dengan kata lain, kenyataan bahwa mayoritas pemilih Indonesia bukan pemilih yang melek politik dengan rasionalitas dan partispasi politik otonom melainkan partisipasi yang dimobilisasi[10] merupakan hambatan crucial bagi pendekatan psikologis dipraktekkan di Indonesia
2. Secara teoritis dikatakan bahwa jika pengetahuan pemilih tentang isu dan kandidat tidak memadai maka party identification dapat digunakan untuk menjelaskan keputusan pmeilih dalam memberikan suara kepada sang kandidat. Tetapi kenyataan bahwa ikatan dan loyalitas (mayoritas) pemilih Indonesia terhadap partai politik bukan karena partai politik itu sendiri, melainkan karena figur tertentu yang mereka anggap sebagai panutan. Ketika sang panutan beralih ke partai lain, maka beralih pulalah massa. Artinya, budaya politik patrimonialisme atau budaya politik atas basis patront-client relationship merupakan hambatan serius terhadap dipraktekkannya pendekatan psikologis dalam menjelaskan voting behavior pemilih Indonesia.
3. “Paket-paket ekonomi” yang bersifat pragmatis (seperti sering diyakini keberadaannya meskipun sulit dibuktikan secara legal-formal) yang diberikan sang kandidat seringkali menjadikan pemilih kehilangan “akal sehat” untuk melakukan pertimbangan dalam memberikan dukungan dan suara dalam pemilihan. Praktek semacam ini mampu menghilangkan “kecerdasan” dan rasionalitas sekaligus menafikan party ID sang pemilih yang telah dibangunnya sejak lama. Dengan kata lain, pendekatan psikologis tidak dapat dipraktekkan sepenuhnya karena persoalan ekonomi.

E. Kesimpulan
Masyarakat pemilih Indonesia adalah pemilih yang “unik.” Sedemikian uniknya sehingga tidak sedikit teori-teori politik yang berkembang “normal” di tempat asalnya tidak serta merta bisa dipraktekkan sepenuhnya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia.[11] Hal yang sama juga terjadi pada dua pendekatan terkait dengan voting behavior baik sosiologis ataupun psikologis. Artinya mengapa seseorang menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat tertentu tidak bisa secara otomatis dijelaskan oleh dua pendekatan diatas. Masing-masing harus “dimodifikasi” sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain, kedua pendekatan tersebut tidak bisa dipraktekkan secara utuh dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia, meskipun tidak berarti tidak bisa sama sekalin dimanfaatkan. Artinya, sampai derajat tertentu keduanya dapat dimanfaatkan sepanjang belum pendekatan yang lebih “pas” dengan kondisi pemilih Indonesia.

a2s






Daftar Pustaka

Feith, H & Castle, L, 1988, Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta, LP3ES.
Gaffar, Afan, 1992, Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party Sistem, 1992, Jojgakarta, Gadjah Mada University Press.
Gaffar, Afan, 1992, Menjelaskan Voting Behavior di Indonesia : Kasus Yogyakarta, Makalah untuk Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Unair Surabaya
Gaffar, Afan, 1998, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogjakarta, Pustaka Pelajar.
Geertz Cliffort, The Javanese Villagers dalam G. W Skinner Local, Ethnic and National Loyalties in Village in Indonesia, Ithaca, Cornel University.
Huntington, Samuel P and Neslon, Joan,1990, Partisipasi Politik di Negara-Negara Berkembang, (terj), Jogjakarta, Rineka Cipta
Prysby, Charles & Scavo, Carmine, 1993, American Voting Behavior in Presidentian Election : 1972 to 1992, Washingon DC, American Political Ascience Association Publsher
Rauf, Maswadi, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia : Penjajagan Teoritis,” dalam Fatah, Saefullah Eep, 1998, Menimbang Masa Depan Orde Baru: Reformasi atau Mati, Bandung, Mizan.
Roskin, Michael & Cord, Robert, 1988, Political Science: an Introduction, New York, Prentice Hall
Uhlin, Anders, 1995, Democracy and Diffusion: Transnational Lesson Drwaing among Indonesia Pro-Democracy Actors, Lund, Department Of Political Science Lund Sweden.
Uhlin Anders, 1995, The Struggle for Democracy in Indonesia: an Actor-Structure Approach, Lund, Dept. of Political Science, Lun Sweden
………….1992, Party Politics in America, New York, Harper Collin Publihser
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah





[1] Mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bondowoso, menulis Islam dan Negara: Pemikiran Nurcholis Madjid, 2003, Jogjakarta, Titian Ilahi Pers.

[2] Hingga akhir 1980-an atau awal 1990-an, kajian tentang voting behavior belum terlampau popular dilakukan di Indonesia. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Afan Gaffar adalah ilmuwan politik yang mempelopori kajian voting behavior di Indonesia. Terkait dengan ini, Afan Gafar menulis disertasi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party Sistem, 1992, Jojgakarta, Gadjah Mada University Press.

[3] Disebut demikian, karena aliran ini dikembangkan oleh ilmuwan politik dari Columbia University Amerika Serikat.
[4] Bandingkan dengan Michael D. Roskin & Robert Cord, Political Science : an Introduction, 1988, America, Prentice Hall
[5] Ada banyak literatur yang ditulis Geertz tentang pandangan ini. Diantaranya adalah The Javanese Villagers yang diedit oleh G. W Skinner dalam Local, Ethnic and National Loyalties in Village in Indonesia, Ithaca, Cornel University, 1959
[6] Disebut demikian karena dikembangkan di Michigan Univeristy Amerika Serikat
[7] Mayorias literatur ilmu politik hanya menyebut tiga variabel berpengaruh terhadap berpengaruh terahadap voting behavior, tanpa menyebut kualitas pemerintah yang sedang dalam kekuasaan yangmencalonkan kembali.

[8] Penggunaan istilah santri modernis dan santri tradisional bukan untuk tujuan dikotomi melainkan untuk kepentingan kemudahan analisis, sebab dikotomi semacam itu sudah tidak berlaku dan mendapat banyak kritik.
[9] Sebelum dekade 60-an dan 70-an, party identification menjadi pertimbangan penting di atas pertimbangan isu dan kualitas kandidat. Tetapi sejak decade 70-an, party ID tidak mampu mengalahkan pertimbangan isu dan kualitas kandidat. Isu dan kualitas kandidat menjadi pertimbangan utama dalam memberikan dukungan dan suara. Selengkapnya bisa dilihat dalam Charles Prysby & Carmine Scavo, American Voting Behavior in Presidentian Election : 1972 to 1992, 1993, Washingon DC, American Political Ascience Association). Juga, party identification menjadi kuat sebagai variabel terhadap pilihan pemilih ketika pemilih tidak mengetahu secara jelas isu/ program yang dijanjikan kandidat dan “track record” sang kandidat. Demikian Afan Gaffar dalam Javanese Voter……)

[10] Selengkapnya mengenai uraian jenis partisipasi bisa dilihat dalam Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara-Negara Berkembang, 1990, (terj) Jogjakarta, Rineka Cipta

[11] Dalam hal ini, contoh paling gambling adalah sistem pemerintahan yang “banci.” Secara teoritis merupakan sistem presidential, tetapi pada prakteknya lebih memperlihatkan sistem parlementer. Demikian pula fungsi partai politik. Secara teoritis, salah satu fungsi partai politik adalah “mengantarkan” kadernya ke dalam posisi posisi politik (pemerintahan). Tetapi dalam praktek politik di Indonesia, partai politik sering berfungsi sebagai “makelar” untuk mengantarkan orang lain selain kadernya dengan “menjual” rekomendasi.

Daftar Blog Saya