Minggu, 01 Maret 2009

Voting Behavior dan Pilkada secara Langsung:

Voting Behavior dan Pilkada secara Langsung:
Upaya Pencarian Landasan Teoritis
Ahmad A. Sofyan, S.IP[1]

A. Pendahuluan
Lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan membuka babak baru dalam sejarah republik tercinta ini. Satu babak yang lebih dikenal sebagai babak reformasi; satu babak yang ditandai dengan perubahan yang terjadi di semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan politik, babak reformasi ditandai dengan perubahan paradigma; dari paradigma yang dilandaskan pada prinsip-prinsip non demokratis ke paradigma yang dilandaskan atas prinsip-prinsip demokratis; dari paradigma yang berpijak atas pemikiran tertutup dan non partisipatoris ke paradigma yang terbuka dan partisipatoris; dari paradigma yang cenderung eksklusif ke paradigma yang relatif inklusif. Dengan kata lain, era reformasi membuka ruang terhadap pembumian nilai-nilai atau prinsip-prinsip demokrasi sekaligus terhadap proses demokratisasi politik.
Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “pembumian” nilai-nilai demokrasi dan proses demokraisasi ditandai dengan diberlakukan asas desentralisasi yang kemudian berimplikasi pada pemberian otonomi daerah yang “seutuhnya” kepada Pemerintah Daerah yang kemudian, sebagai konsekwensinya, masyarakat daerah diberikan ruang berpartisipasi lebih leluasa berupa hak untuk memilih kepala daerah secara langsung (Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat 5; revisi atas Undang-Undang No 22 / 1999 tentang hal yang sama).
B. Pilkada Langsung, Demokrasi dan Demokratisasi
Di republik ini, pemilihan kepala daerah secara langsung yang melibatkan partisipasi (politik) seluruh masyarakat daerah yang bersangkutan adalah fenomena baru sebagai bagian dari “agenda” reformasi dalam bidang politik. Dengan kata lain, pilkada secara langsung merupakan proses demokratisasi politik yang merupakan konsekwensi logis dari proses reformasi politik sebagaimana dituntut gerakan-gerakan pro-demokrasi.
Dalam literatur ilmu politik demokratisasi dibedakan dari demokrasi. Demokrasi adalah sebuah nilai atau prinsip. Terkait dengan perihal nilai atau prinsip, maka demokrasi dipahami sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Identik dengan pengertian ini, George Andrews dan Henrick Chapman, sebagaimana dikutip Maswadi Rauf menyatakan :
…historical process by which state institution and sosial groups and movements interacted to create political sistem based on principle of popular sovereignity.
(demokrasi adalah satu proses sejarah yang dengan proses tersebut institusi (bernama) negara, kelompok dan gerakan sosial berinteraksi untuk menciptakan satu sistem politik yang didasarkan atas kedaulatan rakyat)
Pengertian demokrasi di atas, barangkali, relatif abstrak, Lebih kongkrit dari pengertian di atas, Althur Lewis –sebagaiman dikutip Laporan Tahunan United Nations for Development Program (UNDP) menyatakan bahwa :
The primary meaning of democracy is that all who are affected by a decision should have the right to participate in making that decision, either directly of through representative. ….to exlude the losing groups from participation in decision making clearly violates the primary meaning of democracy..
Makna sejati demokrasi adalah bahwa semua pihak yang menjadi sasaran dasri sebuah keputusan harus diberikan hak untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan tersebut baik secara langsung maupun melalui perwakilan. ..mengeksklusi kelompok-kelompok “pecundang” dari proses pengambilan keputusan jelas-jelas bertentangan dengan makna sejati demokrasi.
Kemudian dalam perkembangannya, demokrasi dibedakan ke dalam minimalist democracy dan maximalist democracy (Uhlin:1995). Terkait dengan dua pengertian demokrasi di atas, ada sejumlah ilmuwan politik lain menyebut yang pertama sebagai procedural democracy dan yang kedua sebagai substancial democracy (Afan Gaffar : 1999). Para pendukung minimalist democracy / demokrasi prosedural membatasi pengertian demokrasi pada hanya kehidupan politik; tidak memasukkan kehidupan sosial atau ekonomi, misalnya, ke dalam konsep demokrasi. Oleh karena itu, suatu sistem politik dikatakan demokratis jika memenuhi setidaknya tiga komponen demokrasi, yaitu: 1) kompetisi yang bebas bagi baik individu atau organisasi untuk duduk di semua jabatan politik, 2) partisipasi politik di dalam memilih pemimpin atau dalam mengambil sebuah keputusan dan 3) adanya kebebasan sipil dan politik bagi setiap warga, seperti kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya (Uhlin 1995).
Sebaliknya para pendukung demokrasi subtansial/ maximalist democracy mengkaitkan demokrasi bukan saja dengan sistem politik, melainkan pula dengan aspek-aspek kehidupan lain, seperti sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pandangan kelompok ini, suatu negara belum bisa dikatakn demokratis jika tidak memberian kesempatan yang sama, misalnya, dalam aspek ekonomi (baca. kesejahteraan ekonomi) dan keadilan sosial meskipun telah mengimplementasikan nilai atau prinsip demokrasi dalam aspek politik.
Sebagai sebuah prinsip atau nilai, demokrasi menunjuk pada dunia idea atau kondisi. Untuk sampai ke kondisi tersebut maka diperlukan proses politik yang dalam literatur ilmu politik dikenal sebagai proses demokratisasi. Demokratisasi adalah sebuh proses menuju demokrasi. Uhlin (Uhlin: 1996) memberikan pengertian demokratisasi sebagai berikut:
Democratisation –process towards democracy- should be difined as the extension of competition, participation and human rights to an increasing number of institutions, issues and people that were not previously governed by these principles, as well as the process whereby civilians take control over military or at least restrict military’s willingness and capacity to intervene in politics.
Demokratisasi –proses menuju demokrasi- harus didefinisikan sebagai perluasan kompetisi, partisipasi dan hak asasi manusia terhadap semakin banyak lembaga, isu dan masyarakat yang sebelunya tidak demikian; juga berarti proses dimana kalangan sipil mampu mengendalikan atau setidaknya membatasi gerak militer untuk melakukan intervensi ke dalam politik praktis
Terkait dengan mekanisme hubungan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah, maka proses demokratisasi dimulai dengan implementasi secara “utuh” asas desentralisasi dalam mekanisme hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang pada gilirannya memberikan hak dan wewenang kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri yang lebih proporsional atau lebih dikenal sebagai otonomi daerah. (UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Satu hak dan wewenang yang kemudian dikembangkan kepada hak dan wewenang untuk menentukan dan memilih kepala daerah sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan (UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah secara langsung, yang berarti memberikan partispasi lebih luas kepada masyarakat untuk turut menentukan pemimpinnya, merupakan bagian dari proses demokratisasi, terutama, di tingkat lokal.
C. Voting Behavior[2]
Secara sederhana voting behavior bisa didefinisikan sebagai keputusan seorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu baik dalam pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pendekatan/ aliran/ school/ mazhab dalam menganalisis voting behavior. Mazhab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan mazhab Michigan yang dikenal dengan pendekatan psikologis (Afan Gaffar:1992)

C.1. Mazhab Columbia[3]
Di Amerika, mazhab atau aliran ini mendapat dukungan dari ilmuwan politik berlatar-belakang Eropa. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya (Afan Gaffar: 1992). Dengan kata lain, latar belakang seseorang atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi bahkan daerah asal menjadi independent variabel terhadap keputusannya untuk memberikan suara pada saat pemilihan.
Dengan demikian, maka seorang individu berasal dari kelas sosial tertentu, misalnya, akan mendukung partai atau kandidat tertentu yang dianggap representasi dari kelas sosialnya.[4] Dalam hal ini, aliran Columbia ini -sampai kadar tertentu- identik dengan ‘politik aliran’ Cliffort Geertz yang mengelompokkan pemilih Indonesia (bc. Jawa) ke dalam kelompok priyayi, abangan dan santri.[5]
Tetapi dalam perkembangannya, karena beberapa kelemahan, terutama kelemahan metodologis, aliran ini semakin ditinggalkan oleh para ilmuwan politik di Amerika Serikat yang kemudian beralih ke pendekatan lain.

C.2. Mazhab Michigan[6]
Dalam menganalisis voting behavior, pendukung mazhab ini menggunakan pendekatan psikologis. Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis (Afan Gaffar; 1992). Terkait dengan pendekatan psikologis ini, faktor-faktor berpengaruh terhadap voting behavior sebagai berikut (Charles Prysby and Carmine Scavo 1993).
1. Kualitas personal sang kandidat.
Di Amerika, di mana konsep ini berkembang, kualitas pribadi seorang kandidat baik moralitas maupun kapabilitas pribadi menjadi bahan pertimbangan sangat penting bagi calon pemilih. Dalam hal ini, bisa diperhatikan betapa tidak sedikit calon Presiden Amerika Serikat gagal karena dianggap tidak bermoral.

2. Performa pemerintah (yang sedang berkuasa)[7]
Hal ini lazim digunakan pemilih tertutama untuk mengevaluasi kandidat (presiden atau kepala daerah) incumbent. Seberapa baik pemerintah di bawah kepemimpinan presiden atau kepala daerah yang sedang mencalonkan kembali sebagai presiden atau kepala daerah di periode berikutnya menjalankan fungsinya menjadi persoalan penting bagi pemilih.
3. Isu-isu yang dikembangkan sang kandidat
Selain track record suatu pemerintahan, isu-isu yang menjadi agenda seorang kandidat menjadi pertimbangan sangat penting bagi pemilih rasional. Seberapa banyak isu-isu yang dikembangkan seorang kandidat berkesesuaian dengan pandangan (dan kepentingan) calon pemilih yang didasarkan, misalnya, atas agama, (termasuk tingkat keberagamaan), ideologi, kepentingan ekonomi pemilih.
4. Loyalitas terhadap partai atau Party Identification (PID).
Selain tiga faktor di atas, pemilih memberikan suara kepada kandidat tertentu karena identitas kepartaian yang melekat kepadanya. Dengan kata lain, seberapa kuat “ikatan batin” pemilih terhadap partai politik tertentu berpengaruh terhadap keputusannya untuk memberikan suara kepada kandidat yang berasal dari partai di mana dia menjadi anggota partai tersebut. Dibandingkan ketiga faktor di atas, faktor Party Identification ini jauh lebih stabil melekat pada diri calon pemilih, mengingat proses identifikasi terjadi dalam proses yang tidak sebentar. Bahkan tidak jarang, proses identifikasi kepartaian lahir bersamaan dengan proses sosialisasi yang diterima dari keluarga di mana di tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Dengan demikian, dalam ilmu politik, faktor ini disebut sebagai long-term variabel sedangkan tiga faktor pertama disebut short term variabel (Michael G. Roskin & Robert Cord, 1988)


D. Menganalisis Voting Behavior dalam Konteks Pilkada
Agaknya, dua pendekatan di atas sama-sama berpeluang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior dalam pemilihan di Indonesia termasuk pemilihan kepala daerah, tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam kehidupan politik negeri ini, dua pendekatan di atas bersifat saling melengkapi bukan saling menafikan. Digunakannya pendekatan psikologis –yang dianggap banyak pengamat politik lebih sophisticated- tidak seharusnya menafikan pendekatan sosiologis, karena kondisi masyarakat pemilih dan sistem politik yang berkembang di negeri ini relatif berbeda dari masyarakat di negeri asal pendekatan ini lahir dan berkembang.
Dalam politik Indonesia, pendekatan sosiologis, sampai derajat tertentu, identik dengan ‘politik aliran’ yang dipelopori oleh Cliffort Geertz yang mengelompokkan pemilih Indonesia ke dalam kelompok priyayi, abangan dan santri yang masing-masing mempunyai afiliasi dan loyalitas terhadap partai tertentu yang merepresentasikan kelompoknya. Menurut Geertz, pemilih dengan latar belakang santri, misalnya, akan memilih partai-partai dengan identitas Islam. Demikian pula pemilih dengan latar belakng priyayi dan abangan akan memilih partai yang merupakan representasi kelompoknya.
Apa yang ditemukan Geertz dikembangkan pula oleh Herbert Feith dan Lance Castle yang dengan tegas mengelompokkan masyarakat ke dalam golongan-golongan nasionalis radikal, sosial demokrat, komunis, islam (modernis dan tradisional) dan jawa tradisional. (Herbert F & Lance C: 1988).
Agaknya, di era reformasi pun, pemikiran Geertz, Herbert Feith dan Lance Castle, masih berlaku, meskipun mulai memudar dan tidak setegas yang terjadi ketika tahun-tahun 1950-1960-an. Bagaimana, misalnya, santri dari kalangan modernis akan berbeda pilihan dengan santri dari kalangan tradisional.[8] Dengan kata lain, di era reformasi pun, pendekatan sosiologis tetap berpeluang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior meskipun tidak secara mutlak dan bukan satu-satunya pendekatan.
Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat, maka pendekatan psikologis semakin mendapat ruang untuk digunakan dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia. Berbeda dari pendekatan sosiologis yang berasumsi bahwa pemilih dengan latar belakang tertentu akan memilih kandidat tertentu pula yang berlatar belakang sama secara otomatis, pendekatan psikologis mensyarakatkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam hal ini, “persaingan” antara short term variabel (meliputi isu, kualitas kandidat, dan kualitas pemerintah) dengan long term variabel (party identification) dalam mempengaruhi pilihan politik seorang pemilih mendapatkan tempat. Artinya apakah seseorang menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat tertentu karena party identification yang melekat padanya, isu yang dijanjikan, kualitas kandidat dan pemerintahan di mana sang kandidat adalah orang lama yang kembali mencalonkan diri merupakan persoalan tersendiri dalam menentukan variabel paling berpengaruh terhadap voting behavior.[9]
Dengan demikian, adanya persyaratan “kecerdasan” dan rasionalitas dalam pendekatan psikologis menjadikan pendekatan ini mendapat hambatan serius untuk dapat digunakan secara utuh dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia. Hambatan-hambatan tersebut berupa antara lain:
1. Kemampuan pemilih untuk melakukan evaluasi atas isu-isu yang diagendakan sang kandidat, kualitas kandidat dan performance pemerintah jika sang kandidat adalah incumbent merupakan persoalan tersendiri yang tidak dipunyai oleh kebanyakan pemilih Indonesia, termasuk untuk memilih Pilkada. Dengan kata lain, kenyataan bahwa mayoritas pemilih Indonesia bukan pemilih yang melek politik dengan rasionalitas dan partispasi politik otonom melainkan partisipasi yang dimobilisasi[10] merupakan hambatan crucial bagi pendekatan psikologis dipraktekkan di Indonesia
2. Secara teoritis dikatakan bahwa jika pengetahuan pemilih tentang isu dan kandidat tidak memadai maka party identification dapat digunakan untuk menjelaskan keputusan pmeilih dalam memberikan suara kepada sang kandidat. Tetapi kenyataan bahwa ikatan dan loyalitas (mayoritas) pemilih Indonesia terhadap partai politik bukan karena partai politik itu sendiri, melainkan karena figur tertentu yang mereka anggap sebagai panutan. Ketika sang panutan beralih ke partai lain, maka beralih pulalah massa. Artinya, budaya politik patrimonialisme atau budaya politik atas basis patront-client relationship merupakan hambatan serius terhadap dipraktekkannya pendekatan psikologis dalam menjelaskan voting behavior pemilih Indonesia.
3. “Paket-paket ekonomi” yang bersifat pragmatis (seperti sering diyakini keberadaannya meskipun sulit dibuktikan secara legal-formal) yang diberikan sang kandidat seringkali menjadikan pemilih kehilangan “akal sehat” untuk melakukan pertimbangan dalam memberikan dukungan dan suara dalam pemilihan. Praktek semacam ini mampu menghilangkan “kecerdasan” dan rasionalitas sekaligus menafikan party ID sang pemilih yang telah dibangunnya sejak lama. Dengan kata lain, pendekatan psikologis tidak dapat dipraktekkan sepenuhnya karena persoalan ekonomi.

E. Kesimpulan
Masyarakat pemilih Indonesia adalah pemilih yang “unik.” Sedemikian uniknya sehingga tidak sedikit teori-teori politik yang berkembang “normal” di tempat asalnya tidak serta merta bisa dipraktekkan sepenuhnya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia.[11] Hal yang sama juga terjadi pada dua pendekatan terkait dengan voting behavior baik sosiologis ataupun psikologis. Artinya mengapa seseorang menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat tertentu tidak bisa secara otomatis dijelaskan oleh dua pendekatan diatas. Masing-masing harus “dimodifikasi” sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain, kedua pendekatan tersebut tidak bisa dipraktekkan secara utuh dalam menganalisis voting behavior pemilih Indonesia, meskipun tidak berarti tidak bisa sama sekalin dimanfaatkan. Artinya, sampai derajat tertentu keduanya dapat dimanfaatkan sepanjang belum pendekatan yang lebih “pas” dengan kondisi pemilih Indonesia.

a2s






Daftar Pustaka

Feith, H & Castle, L, 1988, Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta, LP3ES.
Gaffar, Afan, 1992, Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party Sistem, 1992, Jojgakarta, Gadjah Mada University Press.
Gaffar, Afan, 1992, Menjelaskan Voting Behavior di Indonesia : Kasus Yogyakarta, Makalah untuk Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Unair Surabaya
Gaffar, Afan, 1998, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogjakarta, Pustaka Pelajar.
Geertz Cliffort, The Javanese Villagers dalam G. W Skinner Local, Ethnic and National Loyalties in Village in Indonesia, Ithaca, Cornel University.
Huntington, Samuel P and Neslon, Joan,1990, Partisipasi Politik di Negara-Negara Berkembang, (terj), Jogjakarta, Rineka Cipta
Prysby, Charles & Scavo, Carmine, 1993, American Voting Behavior in Presidentian Election : 1972 to 1992, Washingon DC, American Political Ascience Association Publsher
Rauf, Maswadi, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia : Penjajagan Teoritis,” dalam Fatah, Saefullah Eep, 1998, Menimbang Masa Depan Orde Baru: Reformasi atau Mati, Bandung, Mizan.
Roskin, Michael & Cord, Robert, 1988, Political Science: an Introduction, New York, Prentice Hall
Uhlin, Anders, 1995, Democracy and Diffusion: Transnational Lesson Drwaing among Indonesia Pro-Democracy Actors, Lund, Department Of Political Science Lund Sweden.
Uhlin Anders, 1995, The Struggle for Democracy in Indonesia: an Actor-Structure Approach, Lund, Dept. of Political Science, Lun Sweden
………….1992, Party Politics in America, New York, Harper Collin Publihser
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah





[1] Mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bondowoso, menulis Islam dan Negara: Pemikiran Nurcholis Madjid, 2003, Jogjakarta, Titian Ilahi Pers.

[2] Hingga akhir 1980-an atau awal 1990-an, kajian tentang voting behavior belum terlampau popular dilakukan di Indonesia. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Afan Gaffar adalah ilmuwan politik yang mempelopori kajian voting behavior di Indonesia. Terkait dengan ini, Afan Gafar menulis disertasi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party Sistem, 1992, Jojgakarta, Gadjah Mada University Press.

[3] Disebut demikian, karena aliran ini dikembangkan oleh ilmuwan politik dari Columbia University Amerika Serikat.
[4] Bandingkan dengan Michael D. Roskin & Robert Cord, Political Science : an Introduction, 1988, America, Prentice Hall
[5] Ada banyak literatur yang ditulis Geertz tentang pandangan ini. Diantaranya adalah The Javanese Villagers yang diedit oleh G. W Skinner dalam Local, Ethnic and National Loyalties in Village in Indonesia, Ithaca, Cornel University, 1959
[6] Disebut demikian karena dikembangkan di Michigan Univeristy Amerika Serikat
[7] Mayorias literatur ilmu politik hanya menyebut tiga variabel berpengaruh terhadap berpengaruh terahadap voting behavior, tanpa menyebut kualitas pemerintah yang sedang dalam kekuasaan yangmencalonkan kembali.

[8] Penggunaan istilah santri modernis dan santri tradisional bukan untuk tujuan dikotomi melainkan untuk kepentingan kemudahan analisis, sebab dikotomi semacam itu sudah tidak berlaku dan mendapat banyak kritik.
[9] Sebelum dekade 60-an dan 70-an, party identification menjadi pertimbangan penting di atas pertimbangan isu dan kualitas kandidat. Tetapi sejak decade 70-an, party ID tidak mampu mengalahkan pertimbangan isu dan kualitas kandidat. Isu dan kualitas kandidat menjadi pertimbangan utama dalam memberikan dukungan dan suara. Selengkapnya bisa dilihat dalam Charles Prysby & Carmine Scavo, American Voting Behavior in Presidentian Election : 1972 to 1992, 1993, Washingon DC, American Political Ascience Association). Juga, party identification menjadi kuat sebagai variabel terhadap pilihan pemilih ketika pemilih tidak mengetahu secara jelas isu/ program yang dijanjikan kandidat dan “track record” sang kandidat. Demikian Afan Gaffar dalam Javanese Voter……)

[10] Selengkapnya mengenai uraian jenis partisipasi bisa dilihat dalam Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara-Negara Berkembang, 1990, (terj) Jogjakarta, Rineka Cipta

[11] Dalam hal ini, contoh paling gambling adalah sistem pemerintahan yang “banci.” Secara teoritis merupakan sistem presidential, tetapi pada prakteknya lebih memperlihatkan sistem parlementer. Demikian pula fungsi partai politik. Secara teoritis, salah satu fungsi partai politik adalah “mengantarkan” kadernya ke dalam posisi posisi politik (pemerintahan). Tetapi dalam praktek politik di Indonesia, partai politik sering berfungsi sebagai “makelar” untuk mengantarkan orang lain selain kadernya dengan “menjual” rekomendasi.

Beberapa Variabel Terkontrol dan Tidak Terkontrol Dalam Mempengaruhi Total Ekspor Cerutu Taru Martani ke USA

Beberapa Variabel Terkontrol dan Tidak Terkontrol Dalam Mempengaruhi Total Ekspor Cerutu Taru Martani ke USA

Musaiyadi, SE, MM
PENDAHULUAN
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa beberapa faktor penentu (determinant factors) yang mempengaruhi total ekspor cerutu Perusahaan Dagang Taru Martani (TM) di pasar Amerika Serikat. TM adalah sebuah perusahaan cerutu berorientasi ekspor milik Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta, berdiri sejak 1918. Sebagai perusahaan berorientasi ekspor, TM tidak hanya ”deal” dengan lingkungan internal perusahaan dan perusahaan domestik, tapi juga dengan lingkungan pasar internasional untuk memenangkan persaingan. Untuk mencapai kinerja yang tinggi dalam menjalankan bisnis internasional, manajemen TM secara intensif mendesain strategi untuk menangkap peluang di pasar internasional. Hasilnya, TM mencapai keuntungan yang sangat tinggi terutama sepuluh tahun terakhir.
Michel Porter (1998) memetakan beberapa faktor penting yang mempengaruhi total ekspor suatu perusahaan di pasar internasional. Faktor-faktor tersebut adalah lingkungan internal (internal environment) dan lingkungan eksternal (external environment) yang meliputi lingkungan domestik dan internasional. Keberhasilan perusahaan dalam memasarkan produk di pasar internasional sangat bergantung pada variabel-variabel di atas dalam mempengaruhi penjualan. Dengan memahami konsep tersebut dengan baik, perusahaan akan lebih tajam dalam membuat strategi pemasaran internasional – terutama terkait dengan marketing mix, segmenting, targeting dan positioning – sehingga pada akhirnya dapat memperoleh keuntungan lebih banyak di pasar internasional.
Motivasi dari penelitian ini didorong oleh suatu konsep bisnis internasional yang menyatakan bahwa keberhasilan perusahaan berorientasi ekspor bergantung pada lingkungan internasional. Artinya, pendapatan ekspor yang diperoleh perusahaan eksportir sangat bergantung pada penduduk luar negeri. Bagaimanapun juga, tipologi konsumen masing-masing Negara tidak sama, sehingga profil dan preferensi konsumen di tiap Negara harus dipahami oleh perusahaan eksportir. Dengan bekal pemahaman yang baik, perusahaan eksportir akan lebih berhasil dalam menawarkan produknya di luar negeri. Dari latar belakang di atas, tujuan dari tulisan ini untuk menjawab: variabel apa saja yang secara signifikan mempengaruhi nilai total ekspor cerutu TM ke Amerika Serikat.
Tulisan ini menggunakan data primer dan data sekunder dari laporan keuangan perusahaan dan database terpilih. Untuk mendapatkan hasil analisis kuantitatif, tulisan ini akan menggunakan metode regresi, dimaksudkan untuk mempertajam analisis. Model regresi yang akan digunakan adalah model koreksi kesalahan (error correction model/ ECM), sebagai model regresi dinamis yang menawarkan hasil lebih valid dalam memprediksi hubungan antar variabel. Setelah hasil regresi diperoleh, langkah selanjutnya dalam tulisan ini adalah menganalisis hubungan variabel yang dimaksud. Teori strategi pemasaran internasional untuk menjawab strategi apa yang harus dilakukan TM guna memperoleh penjualan yang tinggi di pasar internasional akan dimunculkan dalam pembahasan selanjutnya.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa harga produk, gross state product (GSP) dari Negara tujuan ekspor yang dipilih dan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat secara signifikan dan positif mempengaruhi total ekspor cerutu TM di Amerika Serikat. Dengan mengetahui hasil ini, perusahaan harus menaikkan harga produk untuk meningkatkan profit. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan. Bagian kedua adalah TM dan kinerjanya di pasar internasional. Bagian ketiga adalah studi literatur. Bagian ke empat adalah metodologi penelitian dan hasil analisis. Dan bagian terakhir adalah simpulan dan rekomendasi.

TM DAN KINERJANYA DI PASAR INTERNASIONAL

Sejak Indonesia menghadapi krisis ekonomi pertengahan 1997, kinerja TM meningkat secara menakjubkan. Krisis moneter yang menghantam Indonesia dan beberapa Negara di Asia pada Juli 1997, yang dipicu oleh depresiasi rupiah terhadap USD telah memposisikan harga cerutu TM menjadi lebih murah dan kompetitif, terutama di pasar internasional. Sejak tahun 2000, tercatat, keuntungan perusahaan meningkat sebesar 20 – 30 persen.
Pada cakupan pasarnya, market share cerutu TM juga mengalami perluasan, terutama di pasar internasional. Saat sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia produk TM hanya terkonsentrasi di Ohio, USA dan Belanda, sejak tahun 1997 sampai saat ini TM mulai mengekspor produknya ke Switzerland, Australia, dan beberapa Negara di Eropa dan Asia.
Secara umum, cerutu yang dibuat oleh TM dapat diklasifikasikan ke dalam tiga formula, yaitu: (1) natural cigar (pure sigar), (2) flavor cigar (tobacco with accent sauce of Mint, Amareto, Vanilla, Rum, and Hazelnut), and (3) mild cigar. Kemampuan perusahaan dalam memproduksi beberapa formula produk spesifik “taste” dan ukuran, serta inovasi produk inilah yang telah mengantarkan TM menjadi salah satu perusahaan cerutu terbaik di Asia.
Sejalan dengan peningkatan kinerja perusahaan – terutama pada keuangan, produksi, dan brand image – TM secara intensif meningkatkan program pemasarannya untuk menangkap peluang pasar di pasar internasional. Secara umum, program pemasaran yang diimplementasikan oleh TM saat ini untuk produknya adalah:
Table 1. Program Marketing Mix TM di Pasar Internasional
Produk
Harga
Distribusi
Promosi
Mass production dan order-driven production
Harga ditetapkan berdasarkan biaya produksi
Pasar International: TM → Agen → Konsumen
Sponsorship dan
Events
Table 2. Segmenting, Targeting dan Positioning (STP) TM
Segmenting
Targeting
Positioning
1. Perokok pria dan wanita
2. Perokok dengan semua tingkat penghasilan
Perokok pria umur 30 tahun ke atas dengan tingkat ekonomi menengah bawah
Memposisikan produknya sebagai lambang gaya hidup kaum pria sukses

Bagaimanapun juga, kinerja penjualan cerutu TM di pasar internasional tidak selalu stabil dan meningkat dari tahun ke tahun. Depresiasi rupiah terhadap USD yang diyakini sebagai pemacu dalam meningkatkan ekspor di pasar internasional hanya terjadi pada tahun 1997, sehingga pihak menanjemen TM mengakui bahwa disamping kenaikan intensitas kompetisi di pasar internasional yang meningkat, faktor-faktor lain juga mempengaruhi fluktuasi total ekspor cerutu TM di luar negeri. Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, tulisan ini ditujukan untuk menjawab apakah beberapa variabel terkontrol dan tidak terkontrol untuk menjelaskan teori perdagangan internasional dalam literatur dan studi empiris mempengaruhi total ekspor cerutu TM di luar negeri atau tidak. Lebih jauh, penelitian ini akan menganalisa sebera besar pengaruh harga (controllable variabel), kurs rupiah terhadap USD, dan Gross State Product (GSP) Ohio, USA (uncontrollable variabel), memberi pengaruh terhadap total ekspor cerutu TM di Ohio USA.

STUDI LITERATUR
Perusahaan dalam Lingkungan Bisnis Internasional
Dalam konteks ekonomi makro, perdagangan internasional (terutama dari sisi ekspor) akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan faktor produktivitas. Hukum Vendoorn’s menyatakan bahwa ada korelasi positif antara tingkat perubahan produktivitas dan tingkat perubahan output. Terjadinya ekspansi permintaan produk melalui ekspor yang meningkat, akan mendorong pencapaian skala ekonomis, yang selanjutnya akan menurunkan biaya produksi. Studi empiris tentang hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Robert F, Emery, Alfred Maizels, Constantin S. Voivodas, Michael Michaely, Bella Ballasa, Robert B. Williamson, Olufemi Fajana, William Tyler, dan Gerson Feder memberikan bukti empiris yang kuat terhadap teori perdagangan internasional, bahwa strategi orintasi ekspor adalah cara efektif dalam mempromosikan pertumbuhan out-put (Doraisami, Anita, 1996. h. 225)
Sedangkan dalam konteks ekonomi mikro (bisnis), ekspor adalah sebuah cara efektif bagi pelaku bisnis untuk memperluas skala dan lingkup usaha mereka melalui perdagangan internasional. Sedikitnya ada empat alasan kenapa banyak perusahaan tertarik untuk melakukan bisnis internasional dengan negara lain, sebagaimana dituturkan oleh Thompson dan Strickland (2003 h. 200). Alasan-alasan tersebut adalah: Pertama, untuk memperoleh akses mendapatkan konsumen baru, Kedua, untuk mengakses biaya lebih rendah dan mencapai keunggulan perusahaan, Ketiga, untuk membagi resiko bisnis antar pasar yang lebih luas, dan Keempat, untuk memodali kompetensi intinya.
Faktor-faktor Penentu ketika Menawarkan Produk di Pasar Internasional
Beberpa variabel memberikan kontribusi dalam keberhasilan bisnis internasional dari suatu perusahaan. Philip Cotera (2002: 19) menjelaskan secara lengkap variabel-variabel tersebut, yaitu: (1) controllable variabels (meliputi: produk, harga, promosi, dan distribusi), (2) uncontrollable variabels in domestic environment (meliputi: kondisi ekonomi makro, kondisi politik dan hukum, serta situasi dan kondisi persaingan di dalam negeri), dan (3) uncontrollable variabels in foreign environments (meliputi: kondisi politik dan hukum, budaya, geografi dan infrastruktur, demografi, struktur distribusi, ekonomi makro, kondisi persaingan, dan tingkat tehnologi di luar negeri.
Strategy dan Manajemen Bisnis Internasional
Sedikitnya, ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan eksportir sebelum masuk ke pasar internasional. Tiga tahap tersebut adalah analisis, perencanaan, dan implementasi. Seluruh divisi dalam perusahaan, terutama manager pemasaran, memiliki tanggung jawab penuh bagaimana mereka harus menganalisis pasar, menyusun strategi dan perencanaan, serta mengimplementasikannya dengan tepat. Pada tahap pertama, perusahaan perlu menganalisis potensi pasar dengan memanfaatkan instrumen alat analisis pemasaran yang ada. Menurut Philip Kotler (2003), Five Forces Analyisis, SWOT Analyisis, Setting 4Ps, dan Segmenting, Targeting, and Positioning (STP) Analysis adalah instrumen yang umum dan banyak digunakan oleh perusahaan dalam menganalisis potensi pasar. Setelah analsis pasar selesai dilakukan, langkah kedua adalah menyusun strategi bagaimana masuk ke pasar internasional dan merumuskan key success factors yang akan digunakan. Pada tahap ini, poin penting yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah menemukan jalan yang paling efektif untuk memasuki pasar internasional dan mencari faktor sukses kunci untuk mendukung perusahaan dalam memenangkan persaingan. Tahap terakhir adalah menjalankan strategi yang telah direncanakan oleh perusahaan dan melakukan monitoring secara kontinue.
Strategy Pemasaran Internasional
Philip R. Cateora (2002) mendefinisikan pemasaran internasional sebagai kinerja aktifitas bisnis yang didesain untuk merencanakan produk, harga, promosi dan distribusi pada konsumen lebih dari satu negara untuk menciptakan profit yang ditargetkan oleh perusahaan. Perbedaan antara definisi pemasaran domestik dan internasional adalah bukan terletak pada konsep-konsep dari pemasaran itu sendiri, tapi lebih pada analisis lingkungan bisnis dimana perencanaan pemasaran internasional akan diimplementasikan. Keunikan dari pemasaran internasional datang dari permasalahan-permasalahan yang tidak biasa (un-familiar) dan penuh ketidak pastian (uncertainty) yang dihadapi oleh manager pemasaran. Situasi persaingan, legal restraint, pengawasan pemerintah, cuaca (weather), fickle consumers, dan sejumlah elemen lain yang tidak dapat dikontrol dan penuh ketidakpastian dapat berakibat pada hasil keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sehingga, perusahaan eksportir harus jeli dan teliti dalam memilih beragam strategi pemasaran yang cocok untuk mengadaptasikan strategi pemasaran perusahaan dengan lingkungan internasional.
Program Bauran Pemasaran (Marketing Mix) di Pasar Internasional
a. Strategi Produk
Market-driver strategy menjadi mega tren strategi pemasaran modern, dan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah strategi pemasaran yang dicapai oleh karena perusahaan menfokuskan diri pada permintaan konsumen. Dengan mengetahui produk yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen, perusahaan dapat menawarkan produk dengan nilai dan kepuasan lebih tinggi pada konsumen mereka dibandingkan pesaingnya.
Agar penerapkan market-driven strategy berhasil dengan baik, perusahaan harus secara terus menerus melakukan analisis dan evaluasi atas perubahan permintaan konsumen pada produk yang mereka jual. Mengelola lini produk merupakan salah satu bentuk dari analisis dan evaluasi kecenderungan perubahan pasar. Dalam hal ini, perusahaan harus mengelola dan menjaga performa produk yang sedang diminati pasar, dan melakukan inovasi serta menciptakan produk baru yang benar-benar dapat diterima di hati konsumen.
b. Strategi Harga
Strategi penetapan harga juga memerlukan pengawasan yang ekstra ketat oleh perusahaan. Kondisi pasar yang selalu berubah, yang disebabkan oleh perubahan kondisi eksternal seperti perubahan perilaku pembelian konsumen, persaingan harga, harus direspons secara cepat dan tepat oleh perusahaan. Menurut Kotler: “in general, the company has three options, namely (1) set a uniform price everywhere, (2) set a market-based price in each country, (3) and set a cost-based price in each country” (Kotler, Philip, 2003, h. 399).
c. Strategi Chanel Distribusi
Strategi saluran distribusi yang efektif dan efisien dapat memperkuat posisi produk perusahaan di pasar internasional. Menurut Kotabe dan Helen (2004), sedikitnya ada tiga terminologi yang harus dipahami oleh pelaku bisnis, kaitannya dengan saluran distribusi di pasar internasional. Terminologi-terminologi tersebut adalah global logistic, material management, dan phisical distribution.
Beberapa faktor yang turut menentukan efektifitas dan effisiensi saluran distribusi dalam pasar internasional meliputi: (1) jarak antara perusahaan dengan pasar internasional, (2) fluktuasi nilai kurs, (3) foreign intermediaries, (4) regulasi pemerintah importir, (5) tingkat keamanan (securities), dan (6) biaya transportasi (Kotabee and Helen, 2004, h. 481).
d. Strategi Promosi
Strategi promosi juga menjadi kunci sukses penting ketika kita memutuskan melakukan perdagangan internasional. Menurut Philip Kotler (2003), ada empat pilihan dimana perusahaan dapat memilih cara yang terbaik untuk mempromosikan produk mereka. Pertama, perusahaan dapat menggunakan satu pesan yang sama di pasar manapun, atau merubah bahasa, nama, dan warna. Kedua, perusahaan dapat menggunakan tema promosi sama secara global, tetapi menyesuaikan copy pada tiap-tiap pasar lokal. Ketiga, perusahaan dapat menggunakan periklanan global dan memilih satu cara yang paling cocok untuk tiap-tiap negara. Terakhir, beberapa perusahaan mengijinkan manager di tiap-tiap negara untuk memilih dan menciptakan periklanan khusus (country-specific ads), dengan arahan headquarter tentunya.
Segmenting, Targeting, and Positioning
Segmenting – Segmentasi pasar internasional digunakan untuk mengadaptasikan heterogenitas konsumen di tiap-tiap negara dengan program pemasaran perusahaan. Adaptasi heterogenitas konsumen pada tiap-tiap negara dengan program pemasaran ini penting bagi perusahaan untuk mencapai kesesuaian (fit) antara penawaran produk dengan karakteristik konsumen di tiap-tiap negara yang seringkali berbeda (Rugman, 1987, h. 342). Segmentasi pasar dapat dilakukan dengan cara menganalisis secara mendalam tentang karakteristik konsumen berdasarkan geograpic, demographic, dan psychografic. Philip Kotler (2003) membagi segmentasi pasar berdasarkan karakteristik konsumen sebagaimana tampak pada Tabel 2.3. berikut:

Tabel 3. Major Segmentation Variabels for Customer Markets

Geographic
Region
City or metro size
Density
Climate

Psychographic
Lifestyle
Personality





Demographic
Age
Famili size
Family life cycle
Gender
Income
Occupation
Education
Religion
Race
Generation
Nationality
Sosial class





Behavioral
Occasions
Benefits
User status
Usage status
Readiness stage
Attitude toward -product
Kotler, Philip, 2003, h. 288

Setelah segmentasi pasar selesai diindentifikasi, pemasar perlu mencari variabel segmen yang paling dominan mempengaruhi keputusan pembelian produk oleh konsumen. Agar variabel segmentasi tepat (valid) bagi perusahaan, syarat-syarat berikut harus di penuhi, yaitu (Rugman, 1987, h. 342): (1) segmen harus dapat diukur, (2) segmen harus accessible dan (3) target harus substansial.
Targeting – Target pasar dilakukan setelah pemasar internasional menemukan variabel-variabel penting yang diperoleh dari hasil proses segmentasi di atas. Alternatif target pasar yang akan tersedia bagi pemasar internasional mencakup “ada target” dan “tidak ada target”. Apabila pilihan yang tersedia adalah “ada target”, perusahaan dapat mengambil strategi masuk ke satu atau lebih segmen yang ditargetkan (terkonsentrasi), atau masuk ke semua segmen yang dapat dicover oleh perusahaan (differensiasi). Apabila pilihan yang tersedia adalah “tidak ada target”, perusahaan akan keluar dengan sendirinya dari lokasi pemasaran tersebut (Rugman, 1987, h. 334).
Foreign Positioning – Foreign positioning adalah langkah terakhir yang harus dilakukan oleh seorang pemasar internasional. Tahap ini dilakukan setelah mereka berhasil menemukan target market yang diinginkan. Pemasar internasional harus pintar, terutama pada saat mereka membangun marketing mix programs pada area pasar yang akan dimasuki (Rugman, 1987, h.345). Kesalahan dalam melakukan foreign positioning, seringkali menyebabkan kegagalan bagi pemasar internasional memasarkan produknya di luar negeri. Ada empat tipe kegagalan yang sering dialami oleh manager pemasaran berkaitan dengan positioning produk yaitu (Kotler, Philip, 2003, h. 311): under positioning, over positioning, confused positioning, dan doubtful positioning.




METODOLOGI PENELITIAN DAN HASIL ANALISIS
Deskripsi Data
Penelitian ini menggunakan data primer, diperoleh dari company’s financial statements, dan data sekunder yang diambil dari Internet, BPS dan Majalah. Data pada total ekspor dan harga rata-rata cerutu TM yang tersedia adalah data tahunan. Berkaitan dengan jumlah data harus lebih banyak dari jumlah variabel, dan layakya 30 data time series untuk menghindari asusmsi klasik dalam analisis regresi, data tersebut diekstrapolasi menjadi data kuartalan dengan menggunakan metode Insukindro 1991 (formula lihat Insukindro 1998).
Instrumen Analisis
Uji Akar-akar Unit
Sebelum dilakukan pengujian statistik, seluruh data akan dianalsis apakah sudah dalam kondisi stasioner atau belum. Pengujian ini penting karena berkaitan dengan permasalahan regresi lancung yang sering terjadi dalam analisis runtun waktu, sehingga sering kali membuat analisis regresi tidak valid. Untuk mengetahui keberadaan data apakah stasioner atau tidak, penelitian ini akan menggunakan uji stasioneritas dengan akar akar unit (unit root test) yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller, yaitu uji DF (Dickey Fuller) dan uji ADF (Augmented Dickey Fuller). Model yang digunakan untuk menaksir keberadaan ini adalah dengan menaksir model otoregresif dari masing-masing variabel yang akan diamati dengan metode OLS sebagai berikut (Tien Setyawati, 1993).
k
DYt = a0 + a1 BYt + Σ bj Bi DYt ………………..................... (1)
i=1
k
DYt = c0 + c1 T + c2 BYt + Σ dj Bi DYt……….....................(2)
i=1
Dimana DYt = Yt – Yt –1, BYt = Yt – 1, T = tren waktu, Yt adalah variabel yang diamati pada periode t, dan K adalah besarnya waktu kelambanan yang dihitung dengan rumus K = N1/3, dimana N = jumlah sampel. Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai DF dan ADF statistik dengan DF dan ADF tabel, ditunjukkan oleh nisbah t pada koefisien regresi BYt pada persamaan (1) dan (2).
Uji Derajat Integrasi
Bila data yang diamati pada uji akar-akar unit ternyata tidak stasioner, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji derajat integrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat integrasi berapa data yang akan diamati dalam penelitian ini stasioner. Untuk melakukan uji tersebut, dilakukan penaksiran model otoregresif dengan OLS sebagai berikut (Tien Setyawati, 1993 ):
k
D2Yt = b0 + b1 BDYt + Σ fj Bi D2Yt …………................(3)
i=1
k
D2Yt = d0 + d1 T + d2 BDYt + Σ hj Bi D2Yt…...........(4)
i=1
Dimana D2Yt = DYt – DYt –1, dan BDYt = DYt – 1

Setelah nilai DF dan ADF hitung diketahui – dengan melihat nilai statistik pada koefisien regresi BDYt pada persamaan 3 dan 4 – langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan nilai DF dan ADF tabel. Jika b1 dan d2 sama dengan satu, maka variabel Yt dikatakan stasioner pada derajat satu atau Yt – I(1). Jika sebaliknya, maka variabel Yt belum stasioner pada derajat integrasi pertama. Dalam hal ini, uji derajat integrasi perlu dilanjutkan hingga pada derajat integrasi berapa diperoleh suatu kondisi stasioner (Tien Setyawati,1993 ).
Model Koreksi Kesalahan
Untuk menjawab identifikasi maalah di atas, Penelitian ini akan menggunakan Model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model/ ECM). Alasan memilih model ini karena ECM, sebagai salah satu model dinamis, dipandang sebagai sebuah model yang secara praktis dapat mengatasi permasalahan regresi lancung yang sering muncul dalam analisis runtun waktu (time series analysis) dalam model statis. Lebih lanjut, model ECM dalam penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut:
Model Dasar yang Digunakan
Tulisan ini mengadopsi model Dipack and Thompson’s model (1996) dimana secara matematis dapat ditulis sbb:
Yi = α0 + β0 Xi + β X2 + βX3 + βX4 + μt
Lebih lanjut, model diatas diadopsi kedalam penelitian ini menjadi:
DXt = c0 + d1DPt + d2DEt + d3DGt + d4BPt-1 + d5BEt-1 + d6BGt-1 + d7ECT.(5)
Keterangan penanda:
X = Total Ekspor Cerutu TM di Ohio, USA
P = Harga Rata-rata Cerutu TM di Ohio, USA
E = Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dolar
G = Gross State products of Ohio, USA
Dimana:
DXt = LnX – LnX (-1) DPt = LnP – LnP (-1) DE = LnE – LnE (-1) DGt = LnG – LnG (-1)
BPt = LnP (-1) BEt = LnE (-1) BGt = LnG (-1)
ECT = LnP (-1)+LnE (-1)+LnG (-1) – LnX (-1)
Dari persamaan tiga di atas, selanjutnya kita dapat menurunkan bentuk model ECM jangka pendek tersebut ke dalam bentuk model ECM jangka panjang. Model ECM dalam jangka panjang dapat ditulis sebagai berikut:
LnXt = d0 + e1 LnPt + e2 LnEt + e3 LnGt……(6)
Keterangan penanda:
d0 = (c0/d7) ; e1 = (d4+d7)/d7; e2 = (d5+d7)/d7 ; e3 = (d6+d7)/d7
Analisis dan Interpretasi
Dengan menggunakan data kuartalan dari 1996.2 – 2003.3, diperoleh hasil regresi dengan ECM sebagai berikut:

Table 4. Hasil Analisis Reggresi dengan ECM
LS // Dependent Variabel is DX
Date: 9-28-2004 / Time: 8:33
SMPL range: 1996.2 - 2003.3
Number of observations: 30

VARIABEL COEFFICIENT STD. ERROR T-STAT. 2-TAIL SIG.
C -31.435578 13.325911 -2.3589816 0.0276
DP 1.8686853 0.3260253 5.7317186 0.0000
DE -0.0089295 0.2689732 -0.0331985 0.9738
DG 19.940656 5.7782306 3.4509969 0.0023
Ln P (-1) 0.9038771 0.3888534 2.3244677 0.0297
Ln E (-1) -0.5642190 0.2098046 -2.6892597 0.0134
Ln G (-1) 2.9873210 1.2775563 2.3383086 0.0289
ECT 0.5756223 0.1808790 3.1823608 0.0043

R-squared 0.765570 Mean of dependent var 0.000774
Adjusted R-squared 0.690978 S.D. of dependent var 0.424910
S.E. of regression 0.236206 Sum of squared resid 1.227456
Log likelihood 5.375649 F-statistic 10.26351
Durbin-Watson stat 1.787570 Prob (F-statistic) 0.000011
Quoted from print out of TSP calculation

Jika nilai tersebut disajikan dalam bentuk persamaan jangka panjang model ECM, maka akan tampak seperti persamaan berikut ini:
LnX = -54.56 + 2.569 LnP + 0.021 LnE + 6.186 LnG
Dengan menganggap bahwa hasil estimasi ECM di atas dihasilkan transformasi Koyck, maka dapat dikemukakan bahwa besarnya nilai tingkat penurunan (rate of decline) adalah b7 (ECT) = 0,576 dan mean lag adalah [b7/ (1 – b7)] = [0.576/ (1 – 0.576)] = 1.3584906. Ini berarti bahwa sekitar 57,60 persen dari gap akan tertutup dalam satu periode dengan kecepatan LnX dalam merespons perubahan LnP, LnE, dan LnG sebesar 4.07 kuartal atau sekitar 1 tahun (4.0754718 x 3 = 12.23 bulan).
Interpretasi
Untuk menginterpretasi koefisien variabel dalam penelitian ini, analisis akan menggunakan model 6, karena inti dari analisis regresi dimaksudkan untuk memahami perilaku variabel ekonomi dalam jangka panjang.
a. Harga Produk
Nilai koefisien variabel harga ekspor cerutu TM (Ln P) adalah 2.569. Angka koefisien ini mencerminkan tingkat elastisitas harga rata-rata cerutu terhadap permintaan impor cerutu TM oleh Ohio, Amerika Serikat. Oleh karena nilai koefisiennya lebih dari satu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel harga dan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat berkorelasi positif dan elastik. Secara ekonomi, angka koefisien (atau tingkat elastisitas) ini menunjukkan bahwa apabila harga rata-rata ekspor cerutu TM meningkat 1 persen, akan berakibat pada kenaikan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, AS sebesar 2,569 persen.
Menurut teori ekonomi, kenaikan harga produk seharusnya akan menurunkan kuantitas permintaan, karena teori the law of demand menyatakan bahwa apabila harga suatu produk meningkat, dengan asumsi cateris paribus, akan menurunkan permintaan produk itu sendiri. Tetapi, teori ini tidak berlaku pada produk ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat. Kenaikan harga cerutu TM justru meningkatkan nilai total ekspornya. Terdapat dua alasan yang masuk akal, yang menyebabkan kenaikan harga ekspor cerutu TM tidak berpengaruh negatif terhadap nilai total ekspornya ke Ohio, Amerika Serikat. Dua alasan tersebut dapat dijelaskan dengan mencermati: (1) harga produk cerutu TM di pasar Ohio, Amerika Serikat dan (2) permintaan produk cerutu oleh konsumen Ohio, Amerika Serikat.
Pertama, harga produk cerutu TM yang dijual ke Ohio, Amerika Serikat jauh di bawah harga standar pasar. Sebagai contoh, harga cerutu yang dijual TM ke agen Ohio, Amerika Serikat antara 0.06 USD (harga paling rendah) sampai 0.19 USD (harga paling tinggi) per batang selama periode pengamatan studi. Sedangkan harga cerutu yang diterima konsumen akhir (user) dari agen mereka kurang dari 3 USD. Di sisi lain, harga cerutu pesaing mereka yang diterima konsumen – seperti dari Kuba – paling rendah sebesar 3 USD per batang, harga premium sebesar 5 – 9 per batang, dan harga eksklusif mencapai 12 USD per batang. Padahal, apabila dilihat dari produk yang ada, TM mengakui bahwa kualitas cerutu mereka sangat sesuai selera “taste” perokok cerutu Amerika Serikat dan bahan baku yang digunakan pun juga tidak jauh beda dengan produk dengan harga premium, yang dijual produsen lain di pasar tersebut. Alasan inilah yang menyebabkan kenaikan harga cerutu TM tidak berpengaruh negatif terhadap nilai penjualannya, karena konsumen cerutu di Ohio, Amerika Serikat memandang harga cerutu TM sangat murah, meskipun terjadi kenaikan harga.
Kedua, permintaan produk rokok untuk segala jenis di pasar Amerika Serikat sangat besar, dan bahkan mencapai 475 milyar batang per tahun. Apabila pangsa pasar produk cerutu sebesar 0.5 persen saja dari total permintaan produk rokok, itu berarti permintaan produk cerutu di Amerika Serikat mencapai 2.38 milyar batang per tahun. Dengan asumsi jumlah penduduk Ohio, Amerika Serikat sebesar 6 persen dari total populasi Amerika Serikat, itu berarti permintaan rokok di pasar tersebut mencapai 142.8 juta batang pertahun. Di sisi lain, kemampuan produksi cerutu TM jauh memenuhi target pasar. Data yang ada menunjukkan bahwa kemampuan produksi cerutu TM hanya sebesar 3 – 5 juta batang per tahun. Dengan demikian jelas bahwa adanya ketidak seimbangan antara jumlah produksi dengan jumlah target pasar yang ada menyebabkan meskipun terjadi kenaikan harga jual produk cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat, permintaan produknya tetap meningkat.
Ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran produk cerutu TM ini juga terjadi di pasar internasional yang lain seperti di Eropa dan Asia. Sebagai contoh, ekspor cerutu TM ke Jerman hanya mampu memenuhi permintaan pasar sebesar 49.000 batang tahun 2001, sementara pangsa pasar cerutu di Jerman sebesar 50 juta batang per tahunnya. Pangsa pasar cerutu di negara lainnya seperti Belanda 40 juta dan Perancis 70 juta, juga belum terpenuhi.
Diakui oleh TM bahwa adanya ketidak seimbangan antara kemampuan produksi dengan permintaan cerutu dunia disebabkan oleh proses produksi mereka yang kurang lancar. Pengadaan bahan baku cerutu, baik yang disupplay dari pasar lokal maupun dari luar negeri, semakin sulit dipenuhi. Sebagai contoh, bahan tembakau cerutu yang dibeli dari Besuki Jawa Timur semakin susah diperoleh karena disamping mereka harus berebut bahan baku dengan pesaing rokok keretek yang lain, hasil produksi tembakau kering di daerah tersebut semakin mengalami penurunan. Disamping itu, mutu tembakau yang digunakan dalam produksinya sangat memerlukan pengawasan ketat, sehingga dapat dikatakan bahwa bahan (tembakau) yang digunakan oleh TM berkualitas tinggi dan sedikit jumlahnya.
b. Tingkat Kurs
Nilai koefisien variabel kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (Ln E) adalah 0.021. Angka koefisien ini mencerminkan tingkat elastisitas kurs Rupiah/USD terhadap total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat. Oleh karena nilai koefisiennya kurang dari satu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel kurs dan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat berkorelasi positif dan inelastik. Secara ekonomi, angka koefisien (atau tingkat elastisitas) ini menunjukkan bahwa apabila kurs Rupiah terdepresiasi sebesar 1 persen terhadap Dollar Amerika, akan berakibat pada kenaikan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio-Amerika Serikat sebesar 0.021 persen.
Hasil temuan perhitungan ini sesuai dengan teori yang ada, seperti di paparkan di Bab 3 di atas, yang menyatakan bahwa depresiasi kurs berpengaruh positif terhadap penjualan produk ekspor perusahaan. Meskipun indikator statistik pada koefisien ini menandakan signifikan, tetapi nilai koefisiennya sangat kecil (inelastik), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai kurs Rupiah yang terdepresiasi terhadap Dollar Amerika Serikat, tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat.
Alasan yang paling kuat kenapa nilai kurs sangat kecil dibandingkan dengan dua variabel independen lainnya, terjadi karena proses produksi dalam pembuatan cerutu TM berkaitan dengan bahan baku impor dari luar negeri yang mencapai 50 persen dari produknya. Sehingga sangat masuk akal apabila depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat juga menjadi beban dan meningkatkan biaya produksi, yang selanjutnya menurunkan hasil produksi perusahaan.
Dilihat dari data yang ada selama periode studi, nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat mengalami fluktuasi tajam, sementara nilai kurs mengalami depresiasi. Depresiasi nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika yang terjadi pada Juli 1997, hanya berpengaruh besar pada kenaikan total ekspor cerutu TM pada tahun itu juga, yaitu sebesar 571,887.77USD, yang berarti meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 157,611.50USD. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, nilai total ekspor cerutu TM kembali mengalami penurunan. Pada tahun 1998 dan 1999, penerimaan total ekspor Cerutu PD Taru Martani sebesar 344,749.00USD dan 134,143.93USD. Dan pada tahun 2003, nilai total ekspor cerutu mereka sebesar 217,774.00 USD. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun cerutu TM merupakan jenis perusahaan orientasi ekspor, dengan kandungan impor yang sangat tinggi pada produk ekspor mereka akan menyebabkan meskipun terjadi depresiasi kurs Rupiah terhadap US Dollar, tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai ekspor cerutu mereka ke Ohio, Amerika Serikat.
Fenomena ini juga didukung oleh teori yang ada, yang menyatakan bahwa depresiasi kurs hanya akan menguntungkan perusahaan orientasi ekspor yang memiliki kandungan impor rendah dalam memproduksi produknya. Sementara perusahaan yang memiliki kandungan impor tinggi dalam memproduksi produknya, tidak akan mendapatkan manfaat dari depresiasi kurs, dan bahkan dapat menurunkan penerimaan penjualan ekspor mereka.


c. Gross State Product (GSP)
Nilai koefisien variabel Gross State Product (Ln G) adalah 6.186. Angka koefisien ini mencerminkan tingkat elastisitas Gross State Product (GSP) terhadap total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat. Oleh karena nilai koefisiennya lebih dari satu, dan merupakan variabel independen yang memiliki tingkat elastisitas paling tinggi, dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel GSP dan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat berkorelasi positif dan elastik. Secara ekonomi, angka koefisien ini mengandung arti bahwa apabila nilai Gross State Product di Ohio- Amerika Serikat meningkat 1 persen, akan berakibat pada kenaikan nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat sebesar 6,186 persen.
Hasil temuan ini sangat sesuai dengan teori yang ada yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara importir akan meningkatkan penjualan ekspor perusahaan. Dalam literatur ekonomi makro, peningkatan Gross State Product suatu negara (yang secara implisit menunjukkan pertumbuhan ekonomi), juga mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat di negara tersebut. Karena variabel konsumsi dalam persamaan pendapatan nasional (GNP) – variabel lainnya adalah pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor – berkorelasi positif terhadap pendapatan nasionalnya.
Dilihat dari data yang ada, Gross State Product (GSP) Ohio, Amerika Serikat mengalami fluktuasi yang cukup signifikan dari tahun ke tahun selama periode pengamatan studi. Dari 1996 sampai 2001, berdasarkan harga berlaku, GSP Ohio, Amerika Serikat tumbuh sebesar 4.6 persen per tahun. Pada tahun 2001, GSP Ohio, Amerika Serikat tumbuh hanya sebesar 0.01 persen, dan pada tahun 2002 – 2003, meningkat kembali sebesar 4.6 persen. Menurut International Monetary Fund/IMF (2004), pada tahun 2004 dan 2005 mendatang, GDP nominal Amerika Serikat diperkirakan meningkat menjadi 6,9 dan 6,6 persen. Itu artinya, estimasi kenaikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat ini akan berdampak positif terhadap PD Taru Martani karena, dengan asumsi cateris paribus, ekspor mereka ke Amerika Serikat akan meningkat sebesar 42.68 persen (e=6.186 x 6.9) tahun 2004, dan sebesar 40,83 persen (e=6.186 x 6.6) tahun 2005.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel-variabel ekonomi yang ada dalam penelitian ini secara signifikan statistik sangat berpengaruh terhadap nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat. Meskipun demikian, masih banyak variabel-variabel lain di luar model yang mempengaruhi nilai ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat. Faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi lain baik variabel yang dapat dikontrol oleh perusahaan seperti produk, saluran distribusi, dan pemasaran, maupun variabel yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan di lingkungan domestik dan luar negeri, seperti regulasi pemerintah perusahaan eksportir, intensitas persaingan, faktor hambatan perdagangan, tipe demografi negara importir yang susah dipetakan, dan lain-sebagainya, merupakan bagian dari 23.44 persen dari variabel-variabel yang tidak ter-cover dalam penelitian ini. Mengingat, berdasarkan analisis statistik, R-square dari model analisis ini adalah 76.56 persen. Artinya, variabel independen yang masuk dalam model mempengaruhi variasi variabel dependennya sebesar 76.56 persen, sedangkan sisanya (23.44) dipengaruhi oleh variabel-variabel lain diluar model. ©

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan

Setelah mengetahui hubungan atau pengaruh variabel-variabel ekonomi terhadap total ekspor cerutu TM ke Ohio, Amerika Serikat dengan pendekatan model ECM di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Harga rata-rata produk ekspor cerutu TM secara signifikan statistik berpengaruh positif terhadap nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, AS.
2. Tingkat kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat secara signifikan statistik tidak terlalu berpengaruh positif terhadap nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, AS.
3. Gross State Product (GSP) Ohio, Amerika Serikat secara signifikan statistik berpengaruh positif terhadap nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, AS.
4. Harga rata-rata produk ekspor cerutu TM, tingkat kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, dan Gross State Product (GSP) Ohio, Amerika Serikat secara signifikan statistik, bersama-sama berpengaruh terhadap nilai total ekspor cerutu TM ke Ohio, AS.

Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari penelitian ini, beberapa rekomendasi di bawah ini dapat dipertimbangkan oleh TM dalam menyusun strategi perusahaan, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas bisnis internasional yang mereka jalankan. Dengan menggunakan diagram Value Chain Analysis pada Gambar 1. di bawah, rekomendasi dari hasil penelitian pada TM adalah sebagai berikut:





Gambar 1. Value Chain Analysis pada TM

Purchased
Supplies
& Inbound
Logistic

Operation
Distribution
And
Outbound
Logistic
Sales
And
Marketing
Service
Profit
Margin
Product R&D, Technology, and Sistem Development
General Administration
Primary Activities and Cost
Support Activities and Cost














a. Primary Activities and Costs
1. Purchased Supplies and Inbound Logistics – TM harus mampu menjaga dan meningkatkan kesinambungan bahan baku (tembakau) yang dibeli dari suplier domestik dan luar negeri. Karena bahan baku lokal semakin sulit diperoleh di pasar domestik (Besuki, Jember, dan lain-lainnya), TM harus meningkatkan intensitas kontrak dagang dengan suplier mereka, jika perlu mencari suplier baru guna menjamin ketersedian bahan baku lokal, sehingga proses produksi cerutu TM dalam memenuhi permintaan pasar cerutu yang saat ini masih sangat besar tidak terganggu. Sedangkan untuk suplier bahan baku dari luar negeri, TM harus dapat meningkatkan kemampuan daya tawar mereka untuk mendapatkan bahan baku yang harganya lebih murah, jika ada kemungkinan, mencari lokasi impor yang relatif dekat dengan perusahaan dan menawarkan bahan baku berkualitas tinggi dengan harga murah. Kedua, TM perlu memperbaiki manajemen penyimpanan (inventory management) yang berkaitan dengan pengadaan barang, sehingga mereka dapat mengkontrol dan menyesuaikan bahan baku yang ada dengan target produksi yang diinginkan oleh perusahaan.
2. Operation – TM harus terus menerus memperbaiki proses produksi yang berkaitan dengan pembuatan produk, pengepakan, fasilitas, operasi, dan lainnya di lingkungan perusahaan, sehingga mereka dapat memproduksi produk dengan biaya lebih murah dan kualitas bagus untuk medukung repositioning produk yang akan dilakukan.
3. Distribution and Outbound Logistics – TM harus memperbaiki dan membagun distribusi produk yang lebih efektif, dan membangun outbound logistics yang lebih baik untuk menyakinkan produk mereka sampai pada konsumen dengan harga seragam dan kompetitif di tiap retailer.
4. Sales and Marketing – TM harus lebih intens dalam membagun program-program pemasaran yang lebih canggih dan tepat untuk pasar mereka. Marketing mix programs yang semula belum optimal, harus ditingkatkan lagi dengan strategi sebagai berikut:
a. Produk – TM harus menjaga mutu produk pada varian tertentu yang sudah diterima di pasar domestik maupun internasional. Untuk pasar internasional, TM dapat menggunakan strategi product invention/ forward invention, dengan cara membuat produk baru dengan “taste” tertentu yang sesuai dengan permintaan pasar. Sebagai contoh, tren cerutu TM yang disukai oleh pasar Amerika Serikat adalah flavor cigar, dengan cita rasa yang beragam. Oleh karena flovor cigar sangat diminati, TM harus menjaga mutu produk jenis tersebut, dan lebih-lebih menciptakan produk flavor cigar baru yang sesuai dengan “taste” penggemar cerutu di Amerika Serikat.
b. Harga – TM perlu melakukan reposisi harga cerutu mereka di pasar Ohio, Amerika Serikat karena tergolong rendah baik di tingkat agen maupun di tingkat konsumen akhir. Bertolak dari kondisi ini, dan didukung oleh hasil temuan dalam analisis regresi yang mencerminkan permintaan cerutu TM oleh Ohio, Amerika Serikat bersifat inelastik – artinya kenaikan harga tidak berpengaruh negatif terhadap demand kerena kualitas dan taste produk sesuai dengan selera konsumen – TM perlu mengambil kebijakan menaikkan harga di pasar Amerika Serikat untuk meningkatkan profit perusahaan. Berdasarkan kualitas produk yang melekat pada cerutu mereka – yaitu kualitas produk premium – perkiraan harga yang sesuai diterima oleh konsumen akhir (user) cerutu di Amerika Serikat antara 5 – 9 USD per batang. Harga cerutu TM di pasar lokal juga perlu dinaikkan, karena masih tergolong rendah dibandingkan dengan produk yang dijual oleh produsen cerutu lokal dan luar negeri di pasar domestik. Sebagai contoh, harga rata-rata cerutu TM per batang dijual kurang dari Rp. 1000 per batang, sementara produk cerutu dari luar negeri di pasar domestik mencapai 6USD per batang.
c. Distribusi – TM harus cepat mewujudkan rencana saluran distribusi produk yang telah mereka buat di pasar domestik. Dengan segera mengubah saluran distribusi yang lama (Gambar 2) menjadi saluran distribusi yang baru (Gambar 3), perusahaan akan lebih efektif dan efisien dalam memasarkan produk mereka di pasar domestik. Disamping itu, masalah perbedaan harga yang diterima konsumen di tiap-tiap retailers selama ini dapat diatasi. Dengan perubahan sistem distribusi ini pula, strategi repositioning produk yang telah direncanakan TM di pasar lokal akan lebih berhasil.




Gambar 2. Skema Lama Saluran Distribusi Produk TM di Pasar DomestiK
TM
Retailers
Customers





Gambar 3. Skema Baru Saluran Distribusi Produk TM di Pasar DomestiK

West Area Main Distributor
Central Area Main Distributor
East Area Main Distributor
Distributor
Sub Distributor
Agen
Sub Agen
Retailers
Distributor
Sub Distributor
Agen
Sub Agen
Retailers
Distributor
Sub Distributor
Agen
Sub Agen
Retailers
CUSTOMER
TM
























Saluran distribusi produk TM di pasar internasional juga harus diperbaiki, karena sistem distribusi produk yang ada selama ini sangat tidak mendukung strategi pemasaran mereka di luar negeri. Oleh karena produk cerutu (tembakau) masuk dalam kategori convenience goods, TM perlu membagun saluran distribusi yang cukup panjang. Hal ini perlu dilakukan untuk mempermudah perusahaan dalam menjangkau konsumen yang sangat luas dan beragam, yang tidak mungkin dijangkau hanya dengan menerapkan saluran distribusi yang ada, seperti tampak pada Gambar 4 di bawah. Meskipun saluran distribusi yang panjang sering kali berpengaruh pada margin harga, dengan kondisi permintaan cerutu TM di pasar Amerika Serikat yang inelastik dan harganya pun sangat rendah, tidak akan berdampak pada posisi kompetitif produk cerutu mereka di pasar tersebut. Dengan mengubah saluran distribusi yang ada menjadi bentuk saluran distribusi baru (Gambar 5), nantinya, TM juga akan lebih berhasil dalam melakukan repositioning produk mereka di pasar internasional.
Gambar 4. Skema Lama Saluran Distribusi Produk TM di Pasar Internasional

TARU MARTANI
Importers/Agents
Customers










Gambar 5. Usulan Skema Baru Saluran Distribusi Produk TM
di Pasar Internasional

TARU MARTANI
Importer/Agent
Distributors
Retailers
Customers












d. Promosi – TM dapat mempertahankan metode promosi yang saat ini mereka lakukan, yaitu dengan melakukan sponsorship pada event-event tertentu yang diselenggarankan di pasar domestik. Untuk pasar internasional, TM juga harus mengikuti pameran (exhibition) cerutu tingkat dunia yang sering diselenggarakan di beberapa negara, seperti di Eropa, Asia, Amerika Serikat, dan lainnya, sehingga produk cerutu TM dapat lebih dikenal luas di pasar internasional. Media Internet juga perlu dimanfaatkan lebih optimal oleh TM, karena media ini menawarkan cara promosi yang berbiaya murah dengan akses yang sangat luas ke seluruh belahan dunia.
5. Service – TM perlu meningkatkan pelayanan pada stakeholders, terutama agen, supplier, dan konsumen langsung mereka dengan cara memberikan bonus dan nilai tambah pada kualitas produk mereka secara keseluruhan (apakah pada “taste”, kemasan, dan keamanan produk), sehingga citra cerutu TM di pasar lokal dan internasional menjadi lebih baik.
b. Support Activities and Costs
1. Product R & D, Technology, and Sistems developments – TM harus senantiasa mengembangkan R & D, Technology, dan Sistem Development mereka, karena ketiga komponen tersebut merupakan kunci sukses perusahaan dalam menjalankan market-driven strategy yang akan mereka lakukan. Jika hal ini dijalankan dengan baik, TM akan tetap eksis dan lebih siap bersaing dengan kompetitornya, baik di pasar lokal maupun di pasar internasional. R & D produk perlu dikembangkan untuk menggali lebih dalam potensi permintaan konsumen terhadap produk-produk yang belum mereka kenal, serta akan lebih mendekatkan hasil produksi TM dengan permintaan produk yang betul-betul diinginkan oleh pecinta cerutu. Pengembangan tehnologi diperlukan untuk mempercepat respons perusahaan dalam memproduksi produk sebagaimana yang diminta oleh pasar, serta dapat menurunkan biaya produksi perusahaan. Sistem development ditujukan pada peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan, dan untuk menjamin keberlangsungan TM.
2. General Administration – TM perlu membenahi bagian ini untuk menjamin transaksi baik TM dengan konsumen dan suplier lokal maupun dengan konsumen dan suplier luar negeri lebih mudah, lancar, dan aman. Sehingga, kemudahan transaksi dengan pihak luar ini akan menjadi daya tarik dan kenyamanan pelanggan dan suplier dalam melakukan transaksi bisnis dengan perusahaan.
c. Segmenting, Targeting, and Positioning Strategy
1. Segmenting – TM dapat memperluas segmen pasar mereka, yaitu dari perokok untuk segala usia, jenis kelamin, dan pendapatan, menjadi perokok dan non-perokok untuk segala usia, jenis kelamin, dan pendapatan. Untuk mendukung perluasan segmen pasar ke non-perokok, TM dapat mengambil strategi diferensiasi produk (product differentiation). Diferensiasi produk yang dimaksud disini adalah TM tidak hanya memproduksi cerutu untuk konsumsi saja, tapi juga memproduksi souvenir, charter, logo pemesan, dan lainnya seperti yang dilakukan oleh produsen cerutu terkenal dunia.
2. Targeting – TM dapat memperluas target pasar utama mereka, yaitu dari pria berumur 30 tahun keatas dengan tingkat pendapatan menengah-keatas, menjadi pria dan wanita berumur 20 tahun keatas dengan tingkat pendapatan menegah-kebawah dan menegah-keatas. Untuk target pasar pria dan wanita berusia 20 tahun keatas, dengan tingkat penghasilan menengah-kebawah, TM dapat menetapkan harga premium. Sedangkan untuk target pasar pria dan wanita berusia 20 tahun keatas, dengan tingkat penghasilan menengah-keatas, TM dapat menetapkan harga eksklusif dengan menciptakan produk cerutu berkualitas tinggi.
3. Positioning – TM segera melanjutkan strategi repositioning produk cerutu mereka di pasar domestik, dan melakukannya juga di pasar internasional. Repositioning produk di TM diperlukan untuk mempertajam image cerutu TM sebagai lambang komoditi orang sukses dan eksklusif. Dengan cara ini, TM dapat menyamakan produk cerutu mereka dengan cerutu terkenal dunia. Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh TM untuk melakukan repositioning produk mereka secara berhasil. Pertama, dengan cara menaikkan harga disertai dengan menaikkan nilai tambah terutama pada kualitas dan kemasan produk. Repositioning dengan cara ini sangat tepat bagi TM karena disamping akan meningkatkan keuntungan perusahaan, strategi ini juga umum digunakan untuk mengantarkan produk mereka di benak konsumen sebagai komoditi berkualitas tinggi dan eksklusif. Kedua, membuat nama (brand) produk baru dengan harga premium dan eksklusif. Repositioning dengan cara ini juga efektif bagi TM apabila image pada brand produk lama yang saat ini dipandang rendah sulit diangkat atau ditingkatkan.

d. Grand Strategy
1. TM harus segera mengubah mass-production strategy menjadi market-driven strategy untuk memperkuat kepekaan perusahaan dalam merespons perubahan atau perkembangan pasar cerutu, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional.
2. TM harus segera mewujudkan pergantian status perusahaan dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Dalam jangka panjang, perusahaan dapat menerapkan LBO untuk lebih memperkuat posisi keuangan perusahaan, sebagaimana dilakukan oleh empat pemain besar industri rokok di Indonesia.
3. TM perlu mengkaji dan meneliti kemungkinan perluasan pasar di negara-negara yang belum menjadi captive market perusahaan, terutama di pasar internasional. Negara-negara bagian Amerika seperti: Connecticut dan Massachusetts (New England), New York dan Pennsylvania (Mideast of America), Illinois, Ohio, dan Michigan (Great Lakes), Florida dan Georgia, (Southeast), Texas dan Arizona (Southwest), California dan Washington (Far West), merupakan negara-negara bagian yang memiliki pendapatan tinggi di Amerika Serikat, dan “calon” target pasar TM yang belum dimanfaatkan. ©



Referensi
Aliman, (2000), Modul Ekonometrika Terapan, PAU STUDI EKONOMI, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
Asian Development Bank, (2000), Keys Indicators of Developing Asian and Pacific Countries, Oxford University Press, Oxford
Beth V. Yarbrough and Robert M. Yarbrough (2000), The World Economy – Trade and Finance, Harcourt College Publisher, USA
BPS, Indikator Ekonomi, berbagai terbitan
Crockett, Roger O. and Elstrom, Peter (1997), How Motorola Lost Its Way, Additional material from Business Week, USA
Dietz, Robert D, and Malecki, Edward J., (2002), A Report on the Economic Conditions of Ohio, Prepared for the Japanes Foreign Ministry Consulate of Detroit, Center for Urban and Regional Analysis – The Ohio State University Columbus, www.google.com
Erika Yuda, (2002), Analysis of International Marketing Strategy: A Case Study of PT DAN LIRIS Solo Indonesia, Thesis, Master of Management, Gadjah Mada University, Jogjakarta
Gujarati, Damodar (1995), Basic Econometrics, McGraw-Fill, Inc. USA
Hady, Hamdy, (1998), Ekonomi Internasional – Teori dan Kebijaksanaan Perdagangan Internasional, Buku Kedua, Ghalia Indonesia, IKAPI, Jakarta
Http:www.bea.doc.gov/bea/rels.htm
Indocommercial, (1999), Proses Oligopoli Industri Rokok Berjalan Cepat, No 253, 11 Oktober 1999
Insukindro, (1991), Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi: Suatu Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia, JEBI, FE UGM, Jogjakarta
Insukindro, (1993), Pemilihan Model Ekonomi Empirik dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan, JEBI, FE UGM, Jogjakarta
Insukindro, Aliman, (1999), Pemilihan dan Bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus Permintaan Uang Kartal Riil Di Indonesia, JEBI, UGM, Jogjakarta
Kuncoro, Mudrajad (1999), Indonesia’s Clove Cigarete Industry: SCP and Cluster Analysis, The 5TH IRSA INTERNATIONAL CONFERENCE, Bandung
Kotabe, Masaaki, and Helsen, Kristiaan (2004), Global Marketing Management, Wiley International Edition, Third Edition, John Wiley & Sons, Inc, USA
Krugman, Paul R and Obstfeld, Maurice (1999), International Economic: Theory and Policy, HarperCollins Publisher. Fifth edition, USA
Philip R. Cateora and John L. Graham (2002) International Marketing, McGraw-Hill International Edition
Phillip Kotler, (2003), Marketing Management, United State of America: New Jersey, Prentice Hall. Inc
Porter, Michael E., (2000). Competitive Advantage – Creating and Sustaining SuperiorPerformance, The Free Press, New York
Ronald V. A. Sprout and James H. Weaver, (1993), Exports and Economic Growth in a Simultaneous Equations Model, The Journal of Development Areas USA
Rugman, Alan M, et al (1987), International Business: Firm and Environment, McGRAW-HILL BOOK COMPANY, USA
Suandy Hamid, Edy, (1997), Arah Pergeseran Ekonomi Indonesia Pra Pasar Bebas – Agenda Aksi Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia – PPM, FE UII, PT Tiara Wacana, Jogjakarta
Suandy Hamid, Edy dan Anto, MB Hendrie (1997), Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia, JEP, FE.UII, Jogjakarta
Taru Martani 1918, (2004), Cigar Van Java, Jogjakarta
Thomson, Strickland (2003), Strategic Management (Concepts and Cases), Thirteenth Edition, United State of America, McGraw-Hill Irvin
www.tarumartani.1918.com
World Bank, (1996), The East Asian Miracle – Economic Growth and Public Policy, Fourth Printing, Oxford University Press, Oxford.
Yoffie, David B. and Casseres, Benjamin G. (1994), International Trade and Competition: Cases and Notes in Strategy and Management, Second Edition, McGRAW-HILL INTERNATIONAL EDITIONS, USA

Penulis, Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 2001
Alumnus Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 2005
Staf PengajarUniversitas Bondowoso, 2007

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN Oleh : Ika Radiastuti*

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN

Oleh :

Ika Radiastuti*

Barangkali kita pernah menjumpai adanya kasus petani yang membongkar sawahnya dari semula yang ditanami padi diganti dengan tanaman jeruk; atau mendengar berita petani yang membongkar tanaman cengkehnya karena dianggap terlalu lama menghasilkan keuntungan, atau menjumpai petani yang meninggalkan pekerjaan utama bertani kemudian pergi ke kota besar untuk mengadu nasib agar memperoleh pendapatan yang lebih besar; dan masih banyak kasus yang lain. Apa yang mereka lakukan pada dasarnya adalah bagaimana mereka dapat memaksimalkan pendapatan ( yaitu untuk kebutuhan keluarganya agar hidup yang lebih baik ) berdasarkan keadaan penguasaan sumberdaya yang terbatas. Manakala sumberdaya yang terbatas itu sudah digunakanseoptimal mungkin, namun pendapatan yang ia peroleh masih juga belum mencukupi, maka iapun berusaha menoleh pada kesempatan ekonomi yang lain dan diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya. Petani atau golongan masyarakat pedesaan seperti ini dapat dikategorikan pada kelompok masyarakat yang selalu memaksimalkan keuntungan pada setiap usaha yang dilakukan. Mereka selalu mengandalkan asas profit maximization yang biasanya dicirikan oleh :

a. Cepatnya mengadopsi-inovasi hal-hal baru dan karenanya mereka sering disebut adopters yang cepat (early adopters); dan karenanya mareka adalah golongan petani maju yang relative baik tingkat sosial ekonominya.

b. Derajat kosmopolitasnya tinggi, taitu mobilitas yang cepat pergi kesana kemari untuk memperoleh informasi;

c. Berani menanggung resiko dalam melakukan usahanya;

d. Mampu dan mau mencoba hal-hal atau teknologi yang baru, karena sumberdaya yang dipakai untuk melaksanakan hal tersebut dimiliki; dan karenanya disamping mereka digolongkan sebagai petani maju juga umumnya petani komersial (Soekartawi, 1988).

Di sisi lain ada pula golongan masyarakat atau petani yang lamban dalam melaksanakan kemajuan-kemajuan; enggan mencoba teknologi baru dan sulit untuk “diajak maju”.

Mereka ini mempunyai sifat yang agak berkebalikan dengan ciri-ciri petani yang disebutkan diatas dan golongan petani ini dikenal dengan istilah petani subsisten yang dicirikan oleh kemauan mereka untuk tujuan memaksimumkan kepuasan (utility maximization) daripada memaksimumkan keuntungan. Mengajak petani subsisten untuk maju memang memerlukan waktu, karena sifatnya yang lamban terhadap adosi inovasi teknologi baru, masyarakatnya agak tertutup; mobilisasi untuk mencari informasi adalah lemah dan karenanya sulit bagi mereka untuk mensukseskan pembangunan secara cepat.

Karena kemajuan ilmu dan teknologi serta kemajuan pembangunan yang sudah menyentuh sampai pelosok pedesaan, maka ciri-ciri petani subsisten ini telah berubah walaupun sebagian belum dapat dikatakan sebagai petani komersial. Sehingga yang banyak dijumpai di pedesaan adalah golongan petani yang semi-komersial atau semi-subsisten. Karena itu ciri yang dimiliki oleh petani semi-komersial atau petani semi-subsisten ini adalah gabungan dari kedua ciri yang dimiliki. Mengetahui cirri yang dimiliki oleh petani atau golongan masyarakat ini dianggap penting karena cirri tersebut erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan.

Dari pengamatan para ahli proses pengambilan keputusan (decision making behaviour) yang dilakukan oleh petani dan golongan masyarakat terhadap teknologi baru dapat beraneka ragam tergantung dari situasi dan kondisi setempat; namun paling tidak ada enam kategori, yaitu :

a. Berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi (Schultz, 1964; Lypton, 1968);

b. Berkaitan dengan factor risiko dan ketidakpastian (Roumasset,1976; Dillon dan Scandizzo, 1978);

c. Berkaitan dengan keterbatasan penguasaan sumberdaya (Sen, 1966);

d. Berkaitan dengan potensi desa atau kelompok masyarakat desa (Clawson dan Hoy, 1979; Soekartawi dkk. 1979);

e. Berkaitan dengan model pengembangan petani kecil (Benito, 1976, Soekartawi dkk. (1986); dan

f. Berkaitan dengan aspek ekonomi yang lain (Lindner dan Pardey, 1979; Fisher dan Lindner, 1979).

AGRIBISNIS DALAM PERTANIAN DI INDONESIA

Mengetahui ciri-ciri petani tersebut adalah penting kalau dikaitkan dengan pengembangan agribisnis yang kini sedang digalakkan. Sebab agaknya sulit untuk mengajak petani komersial untuk mengusahakan tanaman komersial untuk mengusahakan tanaman pertanian yang mempunyai elastisitas permintaan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena cakupan agribisnis adalah luas dan kompleks, yaitu meliputi kaitan dari mulai proses produksi, pengolahan sampai pada pemasaran hasil pertanian termasuk di dalamnya kegiatan lain yang menunjang kegiatan proses produksi pertanian. Dengan demikian, kalau saja pada akhir PELITA V ini diharapkan adanya suatu kondisi perekonomian atau industri yang kuat didukung olehsektor pertanian yang tangguh, maka peranan agribisnis memegang peranan penting di dalamnya (Soekartawi, 1990).

Pengembangan agribisnis Indonesia atau IBT mempunyai posisi yang strategis antara lain karena pertimbangan sebagai berikut;

a. Letak goegrafis Indonesia atau IBT yang dekat dengan pasar dunia (world market) yang kini bergerak ke Asia-Pasifik;

b. Kondisi invertasi untuk tujuan ekspor, baik di bidang pertanian maupun non-migas lainnya, cukup mendukung (sebagai akibat kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi);

c. Masih banyaknya sumber alam khususnya untuk kegiatan di sector pertanian di IBT yang belum dimanfaatkan seoptimal mungkin;

d. Semakin baiknya nilai tambah dan kualitas produk pertanian yang mampu menerobos pasar dunia; dan

e. Masih besarnya (sekitar 54%) tenaga kerja bekerja sector pertanian. Kini pada tahun 2002, angka ini diperkirakan tinggal 49%.

Oleh karena itulah nilai ekspor nonmigas mampu mengganti dan lebih tinggi dari nilai ekspor migas sejak tahun 1987/88. Kalau pada tahun 1986/87, posisi nilai ekspor nonmigas sebesar 47% dan migas sebesar 53% dan nilai ekspor senilai hamper US $ 14 milyar, maka pada tahun 1987/88, dominasi migas digantikan oleh nonmigas, yaitu nilai ekspor nonmigas sebesar 51,4% dan migas 48,6% (Gaol, 1989). Sayangnya pada saat ekspor nonmigas mampu menggeser migas, maka pertumbuhan pertumbuhan ekspor barang pertanian pada saat itu menurun sebesar 0,06% yang disebabkan karena menurunnya harga di pasaran dunia dan masih tingginya biaya produksi di dalam negeri (high cost economy). Hal ini disebabkan karena pola dan hubungan seluruh mata rantai agribisnis di dalam negeri pada umumnya belum optimal, karena beberapa faktor antara lain :

a. Pola produksi pertanian sebagian besar tidak mengelompok dalam satu areal yang kompak sehingga asas efisiensi berdasarkan skala usaha tertentu belum atau sulit mencapai tingkat yang efisien;

b. Sarana dan prasarana ekonomi di daerah tertentu misalnya di luar Jawa-Bali khususnya di daerah sentra produksi belum memadai;

c. Pola agroindustri yang cenderung terpusat di daerah perkotaan dan bukan di daerah pedesaan atau daerah sentra produksi;

d. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan juga karena kondisi transportasi khususnya diluar Jawa-Bali yang belum memadai, sehingga biaya transportasi menjadi relative mahal; dan

e. Sistem kelembagaan di pedesaan, baik kelembagaan keuangan, pasar atau informasi pasar yang belum memadai.

Dalam pada itu Perhepi (1980) dalam dengar pendapat dengan komisi IV DPR-RI tanggal 28 Juni 1989, memberikan berbagai alternatif kebijaksanaan yang dapat ditempuh yaitu antara lain:

a. Meningkatkkan ketrampilan dan kemampuan petani untuk berusahatani secara efisien;

b. Menyebarluaskan informasi pasar dan peluang pasar;

c. Menetapkan standarisasi untuk produksi pertanian secarategas dan dimengerti oleh semua pihak;

d. Mengembangkan kelembagaan berdasarkan keinginan petani, dan bukan berdasarkan keinginan yang dirasakan oleh birokrasi; dan

e. Konsolidasi kelembagaan pemasaran dan pengembangan market intelligent.

Dalam masa sekarang ini dimana kondisi globalisasi ekonomi dunia yang relatif sulit diprediksi, maka kondisi ini akan mendorong tiap negara harus mampu mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki untuk dimanfaatkan agar mempunyai daya saing komparatif (comparative advantage) yang tinggi untuk mampu bersaing di pasaran internasional. Untuk sektor pertanian, barangkali sudah waktunya untuk dipikirkan beberapa aspek yaitu: Pertama, apakah tidak sebaiknya kalau sumberdaya alam yang kita miliki, dimanfaatkan seoptimal mungkin tanpa harus mengorbankan aspek kelestariannya. Kenyataan di lapangan sering kita lihat hal yang sebaliknya. Misalnya hadirnya tambak intensif di pantai utara Jawa Timur, menyebabkan rusaknya hutan bakau. Padahal hutan bakau ini diperlukan bukan saja untuk menahan hempasan air laut tetapi juga penyedia plankton (makanan ikan atau udang) yang justru diperlukan oleh nelayan kecil dan petambak tradisional (Soekartawi, 1989). Peraturan yang mengatur kelestarian penggunaan sumber alam tentu sudah ada, tetapi seringpula dilupakan. Oleh karena itu barangkali ada empat hal yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dalam aspek kelestarian sumberdaya alam ini; khususnya dari aspek agro-ekosistemnya, yaitu :

a. Meningkatkan produktifitas pertanian (productivity) dengan rekayasa teknis atau sosial ekonomi;

b. Meningkatkan kestabilan produktivitas (stability) dalam artian produktivitas tetap dipertahankan dan memperkecil perbedaan angka produktivitas tersebut pada kondisi lahan yang relatif sama;

c. Mempertahankan aspek kesinambungan (sustainability) dari pengusahaan pertanian yang disebabkan oleh faktor lain seperti erosi, hama penyakit, iklim. Permodalan, dan lain-lain;

d. Mempertahankan dan meningkatkan pemerataan (equitability) dalam artian bagaimana hasil yang diperoleh dari suatu sistem usaha pertanian (agro-sistem) yang diterapkan di daerah lain tanpa harus mengorbankan lingkungan (Soekartawi, 1988).

Aspek kedua adalah aspek teknonologi (tecnological endowment). Produksi pertanian tidak dapat meningkat bila pelaksanaannya tidak menguasai teknologi. Seperti yang pernah disarankan oleh Mosher (1966) bahwa penguasaan teknologi pertanian yang selalu berubah ini merupakan syarat mutlak dalam keberhasilan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, proses adopsi inovasi teknologi baru sangat penting karenanya, maka peranan penyuluh pertanian menjadi amat strategis.

Aspek yang ketiga adalah kelembagaan (institutional endowment). Di dalam pengembangan konsep agribisnis, sebaiknya produsen atau juga petani mampu untuk mengusahakan sendiri produksi pertaniannya, mengolah hasilnya dan sekaligus memasarkannya pada kondisi harga yang menguntungkan. Namun dalam praktek seringkali produsen atau petani dihadapkan pada keterbatasan yang dimiliki dan karenanya diperlukan kerjasama dengan pihak lain. Misalnya, berproduksi dengan pinjaman kredit Bank; memasarkan hasil pertanian bekerjasama dengan KUD dan sebagainya. Agar konsep agribisnis dapat menguntungkan kedua belah pihak, maka baik petani maupun KUD atau petani dengan Bank adalah mitra kerja yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan saling membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian, bila karena sesuatu hal salah satu pihak dirugikan, maka lambat atau cepat akan merugikan pula keberhasilan agribisnis ini. Aspek kelembagaan ini, baik kelembagaan formal maupun nonformal, justru merupakan aspek menonjol yang sering menghambat jalannya pembangunan pertanian di negara-negara yang sedang berkembang seperti dilaporkan oleh Hayani dkk.(1982).

Aspek keempat adalah aspek yang berkaitan dengan kebudayaan (cultural endowment). Aspek ini sering dilupakan oleh banyak orang dan karenanya banyak analist yang mengasumsikan masalah culture dianggap konstan. Padahal justru aspek ini berkembang secara dinamis. Faktor resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty); tidak bersedianya petani mengadopsi teknologi baru, tidak maunya petani mengikuti program-program pembangunan pertanian dan sebagainya adalah salah satu contoh pentingnya memperhatikan aspek budaya ini. Ini artinya bahwa keberhasilan pembangunan pertanian itu satu-satunya sangat tergantung dari aspek manusia dan budayanya seperti pada konsep esensi dari putting the people first seperti dikemukakan oleh Cernia dari World Bank (dalam Soekartawi, 1988).

Kalau pada tahun 1966 Mosher menawarkan lima faktor utama yang harus dipenuhi dalam mensukseskan pembangunan pertanian di pedesaan, yaitu :

a. Adanya pasar atau pemasaran hasil pertanian;

b. Adanya teknologi yang selalu berubah;

c. Adanya sarana produksi secara lokal;

d. Adanya insentif bagi petani; dan

e. Adanya transportasi yang memadai.

Ada pula faktor-faktor pelancar dalam pembangunan pertanian menurut A.T. Mosher ialah :

1. Pendidikan pembangunan;

2. Kredit produksi;

3. Kegiatan gotong royong (group action) oleh para petani;

4. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian;dan

5. Perencanaan nasional pembangunan pertanian.

Dengan memperhatikan aspek productivity, stability, sustainability dan equality (produktivitas, stabilitas, berkelanjutan dan dapat disebarluaskan) dan empat aspek lainnya, yaitu pemanfaatan sumberdaya yang efisien, teknologi yang senantiasa berubag, institusi dan budaya yang mendukung program pembangunan pertanian maka keberhasilan pembangunan pertanian pertanian yang berkelanjutan akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dillon, J.L (1977), The Analysis Response In Crop and Livestock Production, Oxford, Pergamon Press,

2. Lypton, M. (1968), The Theory of Optimizing Peasant, Journal of Developing Studies, Vol.4 hlm. 345-354

3. Mosher, A.T (1966), Getting Agriculture Moving, F.A Praeger Inc, New York

4. Perhepi, (1989), Bahan Rapat Dengar Pendapat Perhepi dengan komisi IV DPR-RI tanggal 28 Juni 1989 (mimeograph)

5. Schultz, T.W (1964), Transforming Traditional Agriculture, New Haven, Yale University

6. Sen, A.K, (1966), Peasants and Dualism with or withot Labour, Journal at Political Economics, hlm 425-456

7. Soekartawi, dkk, (1979), Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian, Jkt, UI Press.

* Staf Pengajar Unibo, S1 Universitas Brawijaya Malang

Daftar Blog Saya